Presiden Joko Widodo menyetujui revisi perubahan aturan tentang pengupahan. Namun, sebagian pengusaha menilai formula yang berlaku saat ini memberi kepastian.
Oleh
Ferry Santoso
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menyetujui revisi perubahan aturan tentang pengupahan. Namun, sebagian pengusaha menilai formula yang berlaku saat ini memberi kepastian.
Setelah menemui sejumlah pemimpin serikat pekerja di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat pekan lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan sepakat merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Namun, ia berharap tidak ada pihak yang dirugikan oleh kebijakan itu, baik pekerja maupun pengusaha.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Harijanto di Jakarta, Minggu (28/4/2019), mengatakan, Apindo menyetujui usulan untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan karena dinilai memberatkan pelaku usaha. Kenaikan upah diharapkan cukup ditetapkan sesuai inflasi di setiap daerah. ”PP (78/2015) itu memberatkan pelaku usaha, terutama pelaku usaha skala kecil dan menengah," ujarnya.
Sesuai dengan PP No 78/2015 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018, upah minimum dihitung dengan menjumlahkan upah tahun berjalan dengan hasil perkalian antara upah minimum tahun berjalan dengan inflasi dan pertumbuhan produk domestik bruto.
Menurut Harijanto, kenaikan upah dengan perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi sehingga tidak semua perusahaan dapat memenuhinya. ”Bagaimana kalau perusahaan tidak mampu, tetapi harus memenuhi ketentuan itu,” katanya.
Oleh karena itu, melalui revisi PP No 78/2015, pengusaha berharap kenaikan upah cukup didasarkan pada inflasi di setiap daerah. Selanjutnya, penghitungan upah diserahkan kepada pelaku usaha dan pekerja. Pembahasannya melalui rapat bipartit di setiap perusahaan.
PP No 78/2015 sebenarnya memiliki sisi positif, yaitu kepastian bagi pelaku usaha.
Pemerintah pusat dan daerah tidak perlu terlalu terlibat dalam penentuan upah sebab hal itu berpotensi jadi politis. ”Yang tahu masalah upah, perusahaan maju atau tidak, kan, pengusaha dan pekerjanya, bukan kepala daerah,” ujarnya.
Tak efisien
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy menilai, PP No 78/2015 sebenarnya memiliki sisi positif, yaitu kepastian bagi pelaku usaha. ”Tidak ada lagi pembahasan tripartit tiap akhir tahun,” katanya.
Pembahasan upah secara tripartit yang sebelumnya terjadi dinilai tidak efisien karena menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran. Ketiadaan pembahasan pengupahan secara tripartit, pengurus serikat pekerja pun tidak disibukkan oleh pembahasan upah setiap tahun.
Menurut Ernovian, revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan justru perlu. Ketentuan UU itu dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan industri pada era teknologi informasi dan ekonomi global yang menuntut efisiensi. Ketentuan yang perlu direvisi antara lain soal pemutusan hubungan kerja atau tenaga kerja asing.
Sebelumnya, serikat pekerja berharap penetapan upah dihitung dihitung dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup. Kalangan pekerja juga berharap mendapatkan hak berunding dalam penetapan upah (Kompas, 27/4/2019).
Dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, para unsur pimpinan serikat pekerja juga meminta sejumlah hal terkait dengan perlindungan dan kesejahteraan buruh. Salah satunya adalah usulan pembentukan unit khusus yang menangani kasus-kasus pidana perburuhan.
Hadir dalam pertemuan itu antara lain Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, dan Konfederasi Serikat Nusantara.