Populasi penduduk usia muda terus bertambah. Di seluruh dunia, tiga dari sepuluh orang adalah milenial, generasi yang memiliki usia 15-39 tahun. Hal serupa terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2020 diproyeksikan proporsi angkatan milenial Indonesia akan mencapai 106 juta jiwa atau 34 persen dari total penduduk. Artinya, wajah Indonesia dan dunia ke depan ditentukan oleh generasi milenial.
Generasi yang juga disebut generasi Y ini tumbuh seiring berkembangnya teknologi infomasi, khususnya internet dan gawai. Kaum milenial berusaha keras mewujudkan kehidupan yang baik. Mereka menginginkan pekerjaan yang layak dan menarik, sebuah kegiatan yang menjamin kesejahteraan.
Tak hanya itu, mereka juga ingin terlibat di dalam sebuah pekerjaan yang terhubung secara emosional. Oleh sebab itu, memahami karakter generasi milenial dalam memandang dunia kerja, menjadi modal besar untuk memaksimalkan perannya dalam pembangunan.
Untuk mengenali karakter tersebut, Deloitte mengadakan survei di 36 negara yang tersebar di seluruh dunia pada tahun 2018, termasuk Indonesia. Deloitte Millennial Survey 2018 mengambil sampel penduduk yang lahir antara Januari 1983 hingga Desember 1994, dengan total responden sebanyak 10.455 jiwa.
Lima prioritas
Berdasarkan hasil survei tersebut, setidaknya ada lima parameter utama yang harus didapatkan kaum milenial di dalam sebuah perusahaan. Prioritas pertama adalah keuntungan yang signifikan. Generasi milenial memandang bahwa pekerjaan yang dilakukan dapat menjamin kesejahteraannya.
Seiring sejalan dengan hal itu, laba yang tinggi tak lepas dari kualitas produk dan cara kerja, oleh sebab itu, prioritas kedua adalah bisnis yang dikerjakan secara profesional.
Pada tahap selanjutnya, generasi milenial memprioritaskan perusahaan yang memiliki cara kerja efisien, cepat, dan inovatif. Kombinasi antara hasrat berwirausaha dengan etos kerja yang berkualitas, tampak sesuai dengan diri milenial yang praktis dan suka akselerasi. Hal tersebut terlihat di prioritas keempat, yaitu inovasi produk, jasa, dan ide-ide brilian.
Seluruh harapan milenial terhadap perusahaan bukan tanpa alasan. Prioritas kelima menegaskan harapan tersebut, yaitu peningkatan kemampuan diri dan karyawan di perusahaan. Lima prioritas tersebut mencerminkan topik perbincangan milenial secara global, yakni kesetaraan pendapatan dan jaminan kesejahteraan bagi mereka.
Untuk mencapai lima poin prioritas di dalam perusahaan, milenial mendambakan pemimpin yang mampu membawa budaya inklusif, menerima semua golongan dan menjunjung tinggi keberagaman, di lingkungan kerja. Nilai keberagaman harus diutamakan.
Sekitar 69 persen milenial yang memiliki pimpinan inklusif, merasakan tingginya motivasi dan gairah dalam berkarya di perusahaan. Bahkan, 78 persen milenial mampu memberikan kinerja sangat memuaskan dan membukukan keuntungan maksimal.
Dari sisi latar belakang seorang pemimpin, sebanyak 59 persen milenial lebih percaya pemimpin dari sektor swasta atau perusahaan non-profit untuk merealisasikan nilai-nilai keberagaman. Sementara itu, sebanyak 71 persen milenial ternyata tidak percaya pada pemimpin yang berlatarbelakang politik. Demikian pula pemimpin yang religious, 52 persen berpendapat akan membawa dampak negatif.
Uniknya, pemimpin yang professional di dunia bisnis pun masih di zona abu-abu. Sebanyak 42 persen milenial ragu, sementara 44 persen percaya bahwa pemimpin tersebut mampu memberikan dampak positif.
Budaya inklusif dan nilai diversitas merujuk pada tiga hal, yaitu toleransi, menghargai, dan perbedaan pola pikir. Ketiganya mampu membentuk integritas, kreativitas, inovasi, hingga kecerdasan emosional. Aktualisasi nilai-nilai tersebut harus menyeluruh ke semua golongan yang ada di perusahaan.
Loyalitas bekerja
Sinkronisasi antara karakter generasi milenial dengan lingkungan kerja berpengaruh pula terhadap tingkat loyalitasnya. Semakin jauh kondisi perusahaan dengan ekspektasi mereka, maka semakin besar peluang untuk pindah perusahaan. Kondisi tersebut digambarkan dengan masa kerja di sebuah perusahaan.
Hasil survei juga menunjukkan, setidaknya 43 persen anak muda hanya bertahan dua tahun di perusahaan yang sama. Jumlah tersebut tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sementara yang memilih untuk bertahan hingga lima tahun hanya 28 persen. Lebih mengejutkan, generasi Z yang berusia lebih muda, sebanyak 61 persen hanya bertahan setidaknya dua tahun di perusahaan yang sama. Sedangkan 12 persen lainnya bertahan hingga lima tahun.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan loyalitas generasi milenial terhadap perusahaan adalah menciptakan sistem kerja yang lebih fleksibel. Faktor kenyamanan menjadi modal utama, sebab mereka punya banyak pilihan lokasi dan waktu untuk bekerja. Hal tersebut terbukti, lima dari sepuluh anak muda memutuskan untuk bekerja lebih dari lima tahun di perusahaan yang sama.
Sistem kerja fleksibel memungkinkah karyawan dapat mengatur keleluasaan jam kerjanya terhadap tanggung jawab pribadi, seperti berapa lama bekerja, di mana melakukan aktivitas, dan kapan mulai bekerja. Keleluasaan ini dijalankan tentu saja tanpa mereduksi tanggung jawab pekerjaannya. Terdapat beberapa konsep kerja fleksibel yang berkembang, yaitu flex-time, job-sharing, part-time, home-working, dan compressed hours.
Temuan menarik dari survei ini adalah gambaran orientasi kerja generasi milenial. Untuk mempertahankan tingkat loyalitas, perusahaan harus mampu memenuhi ekspektasi generasi milenial. Setidaknya ada lima kriteria utama saat generasi milenial memilih pekerjaan, yaitu besar pendapatan, lingkungan kerja yang positif, sistem kerja fleksibel, kesempatan mendalami bidang keahlian, dan program kesejahteraan karyawan atau insentif.
Dengan demikian, mempertemukan ekspektasi generasi milenial terhadap dunia kerja dengan kondisi nyata di sebuah perusahaan, mampu memaksimalkan potensi mereka dalam berkarya di dunia profesional. (Litbang Kompas)