Women’s March Jakarta: Segera Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Oleh
Stefanus ato
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Women’s March Jakarta kembali menggelar aksi menyatukan ribuan suara perempuan dan kelompok marjinal di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4/2019) pagi. Mereka mendesak pemerintah segera mengesahkan sejumlah rancangan peraturan perundang-undangan terkait perlindungan perempuan, pekerja rumah tangga, dan masyarakat adat.
Aksi yang diikuti sekitar 50 lembaga swadaya masyarakat dan komunitas itu dimulai dari depan Hotel Sari Pacific dan berakhir di Taman Aspirasi, Monumen Nasional. Peserta yang mencapai ribuan orang itu menyampaikan pendapatnya sembari membawa berbagai spanduk yang berisi tuntutan kesetaraan jender di Indonesia.
Ketua Pelaksana Women’s March Jakarta Fahmia Badib bersama perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat menilai, tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia kian darurat. Padahal, perempuan juga memiliki hak yang sama untuk berekspresi bebas tanpa intimidasi, tekanan, dan tindakan kekerasan.
”Catatan tahunan yang dirilis Komisi Nasional Perempuan, pada Maret 2019, menunjukkan, ada 406.000 perempuan yang melapor kasus kekerasan selama 2018. Kekerasan seksual itu meningkat sekitar 14 persen dari tahun sebelumnya,” kata Fahmia.
Catatan tahunan yang dirilis Komisi Nasional Perempuan, pada Maret 2019, menunjukkan, ada 406.000 perempuan yang melapor kasus kekerasan selama 2018. Kekerasan seksual itu meningkat sekitar 14 persen dari tahun sebelumnya.
Data lain dari survei bersama Lentera Sinta Indonesia, Hollaback Jakarta, Jakarta Feminist Discussion Group, dan Change.org, menyebutkan, pelecehan seksual masih sering terjadi di tempat umum. Sebanyak 43 persen dari 62.224 responden pernah mengalami pelecehan seksual. Dari jumlah itu, 50 persen mengalami pelecehan seksual untuk pertama kali sebelum berusia 16 tahun.
Hal ini menunjukkan perempuan belum aman menjalankan aktivitasnya. Penindakan terhadap pelaku kekerasan seksual selama ini tidak berjalan maksimal karena terbatasnya payung hukum penindakan pelaku kekerasan seksual.
Perwakilan dari Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Yanci Pardede, dalam orasinya juga mendesak pemerintah untuk memprioritaskan perlindungan kepada Komunitas Masyarakat Adat. Setiap hari masyarakat adat terus kehilangan sumber kehidupannya, seperti, tanah, rotan, bahan tenun, dan kemenyan.
”Kami berperan melahirkan anak-anak yang akan mewariskan kepemimpinan bangsa ini. Akan tetapi, bagaimana kami bisa melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas kalau sumber kehidupan kami terus dirampas,” ucapnya.
Yanci meminta pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai bentuk pengakuan keberadaan masyarakat adat yang ada di Indonesia. RUU itu juga menjadi dasar bagi kemandirian perempuan adat mengelola hasil hutan demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Setiap hari masyarakat adat terus kehilangan sumber kehidupannya, seperti tanah, rotan, bahan tenun, dan kemenyan.
Sejak 2017
Mia menambahkan, aksi Wowen’s March dimulai pertama kali pada 2017. Perkumpulan itu pertama kali lahir pada 2015 di Amerika Serikat sebagai bentuk perlawanan perempuan terhadap terpilihnya Presiden AS Donald Trump yang dinilai diskiriminatif dan menindas kaum perempuan.
”Gerakan ini kemudian menyebar ke Indonesia dan yang diinisiasi oleh Jakarta Feminist Discussions Group. Kami sesuaikan ke kondisi lokal, dan yang terjadi saat ini lebih banyak soal kekerasan seksual,” katanya.
Aksi itu bertepatan dengan peringatan Hari Kartini. Hal itu merupakan bentuk tanggung jawab perempuan melanjutkan semangat emansipasi yang diperjuangkan pahlawan emansipasi wanita, RA Kartini.