Semburat Jingga Bulusaraung
Gunung Bulusaraung bak menara alami untuk menikmati pesona Sulawesi Selatan dari ketinggian. Dari puncaknya, tersaji keelokan yang membentang sejauh mata memandang. Di situlah para pengunjung memburu matahari terbit dan tenggelam.
Hari masih gelap, Minggu (24/2/2019), saat satu per satu rombongan meninggalkan kamp di Pos 8 menuju puncak Bulusaraung. Berbekal cahaya senter, rombongan tersebut menapaki jalan berbatu yang terjal. Tekad mereka hanya satu, yakni menikmati matahari terbit.
Tak sampai satu jam mendaki, mereka tiba di puncak, pada ketinggian 1.353 meter di atas permukaan laut. Matahari belum keluar, tetapi semburat jingganya sudah mulai tampak di ufuk timur.
Hamparan perbukitan di kejauhan membentuk siluet. Samar-samar gumpalan kabut tebal serupa awan di antara bukit dan lembah mulai terlihat. Segera saja kelompok-kelompok kecil pengunjung mengambil tempat terbaik untuk menunggu sang bintang utama keluar dari peraduannya.
Decak kagum segera terdengar saat sinar surya menyeruak perlahan. Kamera dan gawai dikeluarkan, sebagian pengunjung sibuk mengabadikan gambar. Sebagian lain duduk menikmati detik-detik sampai matahari utuh dan tinggi hingga bias cahayanya memudar.
Di antara pemburu dan penikmat matahari terbit adalah M Andika (18), pelajar kelas XII SMK Nasional Makassar, yang datang bersama tiga rekannya. Mereka tiba di Desa Tompo Bulu, Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sabtu (23/2) siang. Desa ini berada di kaki Gunung Bulusaraung dan menjadi jalur resmi memulai pendakian. Mereka kemudian melakukan pendakian dan menginap di Pos 8.
”Saya sudah beberapa kali ke sini. Sekarang saya membawa adik kelas yang sudah lama ingin ke Bulusaraung. Tempat ini cukup dekat dari Makassar dan mendakinya tidak butuh berhari-hari. Biayanya juga tidak mahal, makanya jadi favorit untuk berakhir pekan,” ucap Andika.
Andika dan teman-teman hari itu cukup puas menikmati proses matahari terbit yang berlangsung sekitar satu jam. Sebelum siang, mereka turun ke Pos 8, bersenda gurau dengan kelompok pengunjung lain sembari menikmati sarapan sebelum mengepak barang dan kembali ke kaki gunung.
Sebagian pengunjung lain tampak bersantai. Mereka belum puas dan ingin menunggu pemandangan matahari tenggelam sebelum pulang. Waktu tempuh dari puncak ke kaki gunung yang berkisar dua jam membuat mereka tak mengkhawatirkan urusan pulang saat hari telah gelap.
Taman nasional
Gunung Bulusaraung merupakan bagian dari 43.000 hektar kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN Babul). Taman nasional ini membentang di wilayah dua kabupaten, yakni Maros dan Pangkep. Kawasan itu memiliki hutan, bukit karst, dan goa-goa prasejarah.
Masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Pangkep, sejak beberapa tahun terakhir gunung ini populer menjadi tujuan liburan akhir pekan. Warga Makassar dan sekitarnya, bahkan dari luar Sulsel, kerap berburu matahari terbit atau tenggelam di puncak Bulusaraung.
Dalam bahasa Bugis-Makassar, bulu berarti ’gunung’ dan saraung adalah sebutan untuk ’topi petani atau caping’. ”Disebut Gunung Bulusaraung karena puncaknya kerap tertutup kabut yang menyerupai kepala ditutup caping,” kata anggota Staf Pengendali Ekosistem Hutan TN Babul, Taufik Ismail.
Dari Makassar, kaki Gunung Bulusaraung di Desa Tompo Bulu dapat dicapai dengan waktu tempuh kendaraan sekitar dua sampai tiga jam. Jaraknya sekitar 70 kilometer arah timur laut pusat kota Makassar, sebagian melalui jalan kecil berkelok-kelok.
Untuk sampai ke desa ini, umumnya pengunjung dari Makassar berkendara roda dua atau empat melewati jalan poros Makassar-Pangkep. Tak ada angkutan umum yang melayani sampai ke Desa Tompo Bulu. Itu sebabnya kebanyakan pengunjung membawa kendaraan sendiri atau sewa mobil dengan biaya sekitar Rp 500.000 per hari.
Para pengunjung Bulusaraung umumnya penikmat wisata minat khusus dan para pencinta alam. Selain dekat dari Makassar, waktu tempuh pendakian yang hanya berkisar 3-4 jam menjadikan gunung ini tujuan favorit untuk petualangan alam.
Di kawasan ini, mata dimanjakan pemandangan indah hutan tropis yang masih rapat. Pepohonan tinggi dengan akar-akar yang menyerupai tangga dan sebagian melingkar, batu-batu besar, hingga jalan setapak di beberapa bagian mewarnai medan pendakian.
Dari puncak, selain lembah, pemandangan bukit karst lengkap dengan tutupan vegetasi yang membentang dari Maros bisa dinikmati. Di samping itu, desa-desa di Maros, Pangkep, hingga Kota Makassar juga tampak di kejauhan. Saat tiba di puncak sebelum matahari terbit atau saat matahari tenggelam, kerlap-kerlip lampu di perdesaan dan di kota menjadi bonus pemandangan yang mengesankan.
Walau tak seberapa tinggi, jalur menuju puncak gunung itu tak begitu mudah didaki. Untuk mencapainya, pengunjung harus melewati sebagian jalan terjal dengan bebatuan dan akar pohon. Sebagian jalur merupakan jalan setapak di antara jejeran pohon besar. Namun, meski terjal, jalur pendakian ini bisa dilalui pendaki amatir sekalipun.
Kekayaan hayati
Ada sembilan pos yang tersebar hingga puncak gunung. Setiap pos memiliki bangunan kayu seperti gazebo untuk berteduh atau beristirahat. Di beberapa pos, jika beruntung, pengunjung bisa melihat kera hitam sulawesi (Macaca maura) yang bermain dan bergelantungan di pepohonan. Ada juga kupu-kupu liar beraneka warna dan berbagai jenis burung yang mudah dijumpai dalam perjalanan.
Menurut Taufik, berdasarkan pengamatan yang rutin dilakukan di Stasiun Pengamatan TN Babul, selain kera hitam sulawesi, di kawasan ini ada pula satwa endemik lain, yakni tarsius. Bulusaraung juga menjadi rumah beragam jenis anggrek hutan yang menurut pendataan TN Babul ada lebih dari 100 jenis.
Tidak sekadar mendaki gunung, beberapa obyek menarik lain juga bisa ditemui dalam perjalanan ke Bulusaraung, misalnya Taman Purbakala Sumpang Bitta. Di sini, pengunjung bisa menikmati goa prasejarah dengan lukisan cap tangan dan babi rusa pada dindingnya. Ada pula beberapa air terjun yang bisa diceburi untuk menyegarkan diri.
Biaya ke Bulusaraung sangat terjangkau. Biaya retribusi hanya Rp 8.000 per orang serta parkir Rp 5.000 untuk kendaraan roda dua dan Rp 10.000 untuk kendaraan roda empat. Biaya parkir ini berlaku selama kendaraan diparkir, tidak dihitung harian. Selebihnya adalah biaya transportasi dan bekal makan yang disesuaikan kebutuhan masing-masing.
Karena umumnya waktu pendakian hanya dua hari satu malam, bekal makan tak perlu banyak. Cukup membawa makanan seperti mi instan, ikan kaleng, daging kaleng atau daging olahan, dan beras secukupnya.
Jika menginap, tenda menjadi barang yang wajib dibawa, termasuk kantong tidur dan jaket tebal jika tak tahan dingin serta jas hujan. Kalau tak mau repot atau lelah membawa beban, pengunjung dapat menyewa jasa porter dengan biaya berkisar Rp 150.000-Rp 250.000 per hari, tergantung berat dan jenis barang. Tertarik?