Pengembaraan Batin Surti
Judul: Surti + Tiga Sawunggaling
Penulis : Goenawan Mohamad
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Cetakan : I, 2018
Tebal : 103 halaman
ISBN : 978-602-06-1187-7
Inilah novel yang ditulis seorang penyair, dengan tipografi puisi, yang lazim disebut prosa liris. Sifat multitafsir yang pekat pada novel ini bermuara pada hakikat puisi, yang membuka cakrawala batin pembaca akan berbagai makna dan penafsiran.
Sejak awal novelnya, Goenawan Mohamad memang membuka diri terhadap simbol-simbol yang mesti kita maknai. Ia sengaja membuka ruang untuk berkembangnya motif-motif yang tak tunggal, dengan perkembangan struktur narasi dan kisah yang kompleks. Ia mengembangkan defamiliarisasi dengan melakukan penganehan terhadap obyek-obyek yang secara kultural tampak lazim.
Ia mencipta motif kebiasaan membatik Surti, yang berkembang sebagai struktur narasi dan kisah tak lazim, sebuah teknik bercerita yang membuka cakrawala perenungan pembaca.
Dengan latar kota pesisir utara pantai Jawa, akhir Juli 1947, Goenawan Mohamad menghadirkan tokoh Surti, perempuan pembatik, yang ditinggal mati Niken, anak perempuan tunggalnya—belum genap sembilan tahun, ketika berenang di pantai.
Ia bertahan mendampingi perjuangan suami sebagai gerilyawan. Membatik bukan lagi menjadi soko guru ekonomi sebagai seorang istri yang ditinggal suami bergerilya, melainkan merupakan kegiatan spiritual, melakukan pengembaraan batin untuk memahami kosmologi yang melingkupi atmosfer kehidupannya.
Tiap kali membatik burung sawunggaling, Surti melakukan pengembaraan batin. Ia memberi nama burung itu Anjani, Baira, dan Cawir. Ketiga burung yang dilukis dalam kain batik itu senantiasa menjelma mata batin Surti untuk memaknai kehidupannya.
Ketiga burung sawunggaling itu tiap menjelang dini hari melepaskan diri dari gambar, dengan sekali kepak, keluar dari kain batik, terbang sebagai mata batin Surti untuk melihat peristiwa-peristiwa kehidupan di sekitar dan kosmologi yang melingkupinya.
Defamiliarisasi
Laku batin Surti sebagai seorang istri berhadapan dengan peristiwa-peristiwa genting peperangan, yang dipenuhi kejutan-kejutan konflik, kesimpangsiuran informasi, tokoh- tokoh dengan berbagai kedok, dan dominasi kekuasaan kuyup dengan fitnah, kekerasan, bahkan pembantaian.
Novel ini memang menciptakan kebebasan untuk mempermainkan konvensi. Goenawan Mohamad melakukan penyimpangan—terutama pada tokoh ketiga burung sawunggaling jelmaan gambar kain batik—dalam tingkat motif dan struktur narasi.
Penyimpangan yang dilakukan Goenawan Mohamad itu selaras dengan konsep defamiliarisasi, istilah yang pertama- tama dipakai ahli sastra Rusia mazhab Formalis, Victor Shklovsky: ”yang biasa, yang normal, yang otomatis dibuang, yang dipakai harus khas, aneh, menyimpang, luar biasa”.
Defamiliarisasi ketiga burung sawunggaling dalam novel ini merupakan teknik yang memaksa pembaca untuk memahami motif yang biasa, kejadian sehari-hari, sebagai hal yang aneh dan menjadi ragam yang tak dikenali; tak lazim. Defamiliarisasi tiga burung sawunggaling itu menunda begitu banyak tindakan, kata-kata, atau obyek yang tampak dalam keseharian, sebagai sugesti transendensi yang tak terjangkau nalar.
Pertama, burung sawunggaling itu menjadi saksi batin Surti akan pertempuran pasukan gerilyawan melawan Belanda dan pembantaian-pembantaian yang dilakukan Belanda. Ketiga burung sawunggaling itu menjadi mata batin Surti yang bisa mengikuti semua peristiwa peperangan yang melingkupi ruang waktu di sekitar latar kisah, tentang pertempuran, gerakan gerilyawan, dan pergerakan Jen, suami Surti.
Kedua, burung sawunggaling itu menyingkap rahasia takdir manusia. Burung sawunggaling itulah yang terbang malam, bertemu hantu perempuan, yang mewartakan bahwa Jen akan mati tak lama lagi. Ketiga burung sawunggaling itulah yang membuka jati diri Jen.
Surti menikahi lelaki itu tanpa mengenal asal-usulnya dengan pasti. ”Terus terang aku tak kenal betul laki-laki itu, Jen, yang kadang-kadang aku panggil Mas Jen. Kami menikah tak lama setelah ia keluar dari penjara di Mager. Itu tahun 1936 ketika umurku sudah 20 dan dia 27” (hal 22).
Ketiga, burung sawunggaling itu menyingkap dunia magis- mistis yang melingkupi kehidupan Surti, yang bisa menggambarkan dunia batin Jen, suaminya, yang suka pergi ke makam Pekuncen Sunan Jero. Suami Surti senantiasa mencari ”wisik”, ”wangsit”, yang memberi jalan spiritual dari kesimpangsiuran konflik politik yang kacau. ”Aku ingat Jen mengatakan, yang menemui mimpi, akan membentuk mimpi” (hal 53).
Kompleksitas penafsiran
Goenawan Mohamad juga mencipta motif mengenai Narto yang membiaskan struktur narasinya menjadi kompleks, dibayangi teka-teki yang meminta perenungan kita. Sejak kemunculan tokoh ini sampai akhir novel, berkembang tiga motif mengenai tokoh Narto.
Pertama, motif Narto seorang guru. Kedua, motif Narto seorang mata-mata Jen. Ketiga, motif Narto sebagai mata-mata Belanda, bahkan menjadi petunjuk pengepungan rumah Surti untuk menangkap dan membantai Jen.
Berkali-kali tokoh Narto dikabarkan ditembak mati, tetapi ia masih hidup, dan tetap tak tersingkap jati dirinya sampai novel ini berakhir. Ia menjadi teka-teki, yang memberi makna novel ini dalam kompleksitas penafsiran. Goenawan Mohamad menghadirkan defamiliarisasi tokoh manusia yang penuh dengan kedok, berlapis-lapis dusta, dan permainan peran.
Tokoh Surti hadir bukan sebagai saksi pergolakan peperangan di kota kecil pantai utara Jawa. Akan tetapi, sesungguhnya, yang diekspresikan Goenawan Mohamad adalah pergulatan batin perempuan Jawa. Tokoh Surti dilakonkan dengan segala pengembaraan mata batinnya.
Ia tetap tegar dalam badai peperangan, tetap memandang segala peristiwa dengan bening dalam situasi yang keruh, tetap murni dalam kepungan kedok-kedok kepalsuan. Tokoh Surti menjadi ruh perkembangan struktur narasi novel sebagai teks jamak, teks dengan penafsiran plural.
PRASETYO UTOMO Dosen Universitas PGRI Semarang, Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Semarang