Kanapi, Kuli Panggul Pecinta Kesenian Ubrug
Kanapi (64) berteguh hati melestarikan ubrug, kesenian tradisional dari Banten, di sela pekerjaannya sebagai pedagang jengkol dan kuli panggul. Saat hiburan modern semakin gencar menggempur, pemimpin kelompok ubrug Pegon Grup itu setia menyelipkan pesan-pesan bijak lewat pertunjukannya.
Kanapi (64) bersiteguh hati menjaga ubrug, kesenian tradisional dari Banten, di sela pekerjaannya sebagai pedagang jengkol dan kuli panggul. Saat hiburan modern semakin gencar menggempur, pemimpin kelompok ubrug Pegon Grup itu setia menyelipkan pesan-pesan bijak lewat pertunjukannya.
Jemari Kanapi lincah memainkan tiga gendang, Selasa (16/4/2019). Suasana rumahnya di Desa Sukajaya, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Banten, itu menjadi semakin meriah lewat lantunan musik nan merdu. Latihan ubrug itu dilanjutkan Kanapi dengan melontarkan humor.
“Kite nang kene kih lagi ngahibur Bapak sahibul jahat. Eh, sahibul hajat (Saya di sini sedang menghibur Bapak sahibul jahat. Eh, sahibul hajat),” ujarnya. Kelakar dengan bahasa Jawa Serang (Jaseng) itu disambut keluarga penyelenggara acara dengan terkekeh-kekeh.
Ubrug adalah teater komedi yang umumnya didahului tarian jaipong dan iringan musik tradisional. Tokoh sentralnya pelawak dengan riasan wajah dan kostum jenaka. Pelawak itu saling menyambut dan melempar umpan lelucon dengan para pemain lain.
Setelah latihan usai, Kanapi menceritakan cintanya pada ubrug. Banyak kisah indah masa lalu bersama ubrug. Namun, tak sedikit tantangan berat di masa depan yang harus ia lalui. Tantangan itu jelas tak selucu guyonannya atau semeriah kostumnya di panggung.
Dia menceritakan kisahnya di rumah sederhana. Lantainya semen yang sudah mengelupas beralaskan spanduk bekas. Sebagian dindingnya hanya berupa tripleks dengan cat pudar.
Kanapi mengatakan, ketertarikannya pada ubrug berawal ketika ia mengikuti beberapa kelompok kesenian itu sebagai pemain gendang. Kanapi yang merasa memiliki bakat melucu lalu memilih peran sebagai pelawak. Dia mengasah kemahirannya dengan membaca buku, mendengarkan kaset, dan menonton acara lawak.
Kanapi pun mencari-cari nama panggung. Pegon akhirnya terpilih sebagai alterego Kanapi. Alasannya sederhana, karena menurutnya nama itu terdengar lucu. “Pegon artinya bajak. Itu bahasa Jaseng. Waktu saya dilahirkan, ada warga yang bilang, kasih saja nama Pegon. Saya pakai saja nama itu,” katanya.
Nama itu ternyata membawa rezeki. Dia memainkan ubrug pada pesta pernikahan, tujuh bulanan, penyambutan tamu, ruwatan, kelahiran, peresmian gedung, pameran, dan festival kesenian. Tak hanya di Banten, Kanapi juga pentas di beberapa provinsi lain Jakarta, Jawa Barat, hingga Sumatera Barat. Kelompok ubrug Kanapi, yakni Pegon Grup, beranggotakan 20 orang.
“Kesenangan saya terhadap ubrug dan menghibur masyarakat menjadi kekuatan untuk melestarikannya. Saya bisa pergi ke berbagai provinsi karena ubrug,” ujarnya sambil tersenyum.
Tak sekadar mengocok perut para penonton, Kanapi berupaya menampilkan ubrug yang bermakna. Nasihat-nasihat disampaikan dengan tema sehari-hari mulai keluarga berencana, kerukunan rumah tangga, tertib berlalu lintas, hingga membuang sampah pada tempatnya. Kanapi pun melancarkan kritik sosial tanpa membuat para penontonnya berwajah masam.
Memancing tawa
"Saya biasanya memancing tawa para penonton dengan menggoda tukang gendang. Kritik juga disampaikan tapi tak membuat mereka yang menonton sakit hati,” ujarnya.
Kanapi menyesuaikan pertunjukan dengan kondisi sosiokultural khalayaknya. Dia misalnya, berpentas menggunakan bahasa setempat. “Kalau di Jawa Barat, saya pakai bahasa Sunda. Saya juga bisa bahasa Jawa. Kesadaran sosial para penonton dengan berbagai latar budaya pun bisa ditingkatkan,” katanya.
“Puncaknya antara tahun 1980-2000, undangan ubrug banyak sekali. Dalam sebulan, paling hanya pere (libur) lima hari,” ujarnya. Selama setahun, masa sepi menanggap ubrug hanya bulan puasa. Kanapi juga rutin unjuk kebolehan di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta.
“Selama setahun, saya manggung setiap minggu di TMII. Saya lupa tahun berapa. Sepertinya 2000-an. Di Pasar Seni, Ancol (Jakarta), saya juga pernah mentas,” ucapnya. Hotel megah, kantor pemerintah daerah, hingga gedung kesenian pernah menjadi wahana Kanapi mempertontonkan ubrug.
Akan tetapi, masa lalu yang manis itu hampir remuk digilas zaman. Sekarang tantangannya lebih berat. Tontonan berperangkat elektronik semakin kencang mengisi ruang publik, dari kota hingga ke kampung-kampung. Ubrug yang dulu jadi idola kini rentan tak bernyawa. Namun, Kanapi kukuh menyusuri jalan hidup sebagai seniman ubrug meski panggungnya semakin sepi.
Sekarang, ada dua undangan ubrug dalam sebulan saja sudah bagus banget. Semakin sepi karena hiburan kian banyak
“Sekarang, ada dua undangan ubrug dalam sebulan saja sudah bagus banget. Semakin sepi karena hiburan kian banyak. Orang lebih senang mengundang organ tunggal,” ujarnya.
Ia tak menampik besarnya biaya mengundang kelompok ubrug menjadi pertimbangan para penangggap. “Sekali tampil, tarif untuk menyelenggarakan ubrug sekitar Rp 6 juta. Tapi, anggota kelompok ubrug banyak jadi harus dibagi rata,” katanya.
Selain honor penari dan pemain musik sebesar Rp 3,5 juta, Kanapi harus membayar biaya pikap, kuli angkut, dan sistem suara sebesar Rp 2 juta. “Keuntungan saya Rp 500.000 pun harus disisihkan lagi untuk kopi dan makanan para kru saat latihan. Kalau kru enggak punya motor, ojeknya saya ongkosin,” ucapnya.
Sementara, hiburan seperti organ tunggal, biayanya lebih murah atau sekitar Rp 3 juta. “Itu pun, penyanyinya tak hanya satu tapi empat orang. Minat masyarakat terhadap kesenian tradisional juga semakin rendah,” ujarnya.
Kuli panggul
Kondisi itu yang membuatnya mau melakukan apa saja asal dia tetap bisa menafkahi keluarga sembari tetap memupuk rasa cintanya pada ubrug. Kanapi sadar, jika hanya mengandalkan pendapatan sebagai seniman ubrug, ia tentu sulit memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, dia rela rutin bolak-balik Banten-Jakarta untuk berdagang.
“Saya seminggu menyalurkan jengkol ke Pasar Induk Kramatjati. Lalu, seminggu di Banten untuk menampungnya dari Lampung, Sumatera Barat, dan Bengkulu,” ucapnya.
Kanapi berdagang jengkol setiap dua minggu dengan keuntungan hanya sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta jika komoditas itu sedang melimpah. Ada kalanya, jengkol tak tersedia. Karena itu, dia sering menjadi kuli panggul. Walau telah berumur, Kanapi bisa mengangkut hingga 100 karung per hari.
“Setiap karung, beratnya 70 kilogram. Saya antar karung dari mobil pengangkut jengkol ke lapak. Setiap karung yang saya antar, bayarannya Rp 3.000,” ujarnya.
Kini, saat usianya tak muda lagi, Kanapi sudah menyiapkan Nursali (34), anak ketiganya jadi penerus cintanya pada ubrug. Nursali termasuk yang paling antusias memainkan ubrug dibandingkan tiga saudara lainnya. Selama beberapa waktu terakhir, Nursali ikut Kanapi pentas di panggung. Kanapi tak ragu. Dia yakin Nursali pasti bisa menjadi penerusnya.
Supaya ada generasi penerus. Hingga akhir hayat, saya bertekad untuk melestarikan ubrug
“Supaya ada generasi penerus. Hingga akhir hayat, saya bertekad untuk melestarikan ubrug,” ujarnya.
Di tangan Kanapi, pedagang jengkol dan kuli panggul, itu ubrug dari Banten punya harapan berumur panjang. Butuh kepedulian banyak orang agar semangat itu tak hanya hidup dalam tubuh tua seperti Kanapi.
Kanapi
Lahir: Desa Sukajadi, Kecamatan Kragilan, Kabupaten Serang, Banten, 12 Desember 1954
Anak: Rokman (45), Rusman (38), Nursali (34), Nasuha (29)
Pendidikan:
- Sekolah Dasar Negeri Cipete, Kabupaten Serang, Banten
- Sekolah Menengah Pertama Negeri Kragilan, Kabupaten Serang, Banten
- Sekolah Menengah Atas Negeri Kragilan, Kabupaten Serang, Banten