Kematian tujuh orang petugas pemilu, 17 April 2019 di Nusa Tenggara Timur menjadi pelajaran sangat penting untuk pelaksanaan pemilu ke depan. Di NTT pula 24 petugas lain terpaksa dirawat di rumah sakit dan kediaman masing-masing karena kelelahan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kematian tujuh petugas pemilu, 17 April 2019, di Nusa Tenggara Timur menjadi pelajaran sangat penting untuk pelaksanaan pemilu ke depan. Di NTT pula 24 petugas lain harus dirawat di rumah sakit dan rumah masing-masing karena kelelahan.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Kupang, Achmat Atang, di Kupang, Jumat (26/4/2019), mengatakan, pemerintah sebaiknya tidak hanya memberikan santunan kepada para petugas pemilu, seperti KPPS (PPS), panwas, dan PPK yang sakit dan meninggal setelah melaksanakan tugas pada 17 April. Evaluasi juga harus dilakukan.
”Ini pelajaran sangat penting bagi pemilu ke depan, harus dilakukan evaluasi menyeluruh. Kali ini kita melaksanakan pemilu sangat besar, dengan beban kerja para petugas lapangan sangat luas dan rumit. Kita tidak mempertimbangkan kesehatan, umur, beban kerja, dan honor yang sesuai dengan beban kerja,” tutur Atang.
Ini pelajaran sangat penting bagi pemilu ke depan. Harus dilakukan evaluasi menyeluruh.
Juru bicara KPU NTT, Yosafat Koli, mengatakan, ketujuh korban meninggal seusai menjalankan tugas pada pemilu 17 April, yakni Blandina Rafu (31), ibu rumah tangga, asal Desa Manleten, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Ia meninggal pada Jumat 19 April setelah dirawat dua hari di RS Atambua, 17-19 April.
Silfanus Nefa Fay (59), anggota PPK dari Kelurahan Naikliu, Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, meninggal pada 13 April saat bimtek dan pengecekan formulir C6 dari pagi hingga larut malam. Korban sempat dilarikan ke RS terdekat, tetapi tidak tertolong.
Yahya Ora (47), anggota PPS dari Dusun I, Desa Nekamese, Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang, meninggal pada Selasa, 16 April akibat kelelahan. Sebelumnya almarhum mengeluh sakit punggung setelah bekerja tiga hari berturut-turut mengurus surat suara setempat.
Jonius Ama Ki’I (35), anggota Linmas TPS 02 Watulabara, Kabupaten Sumba Barat Daya, meninggal pada 17 April malam karena ditabrak truk saat mengawal kotak suara menuju kantor kecamatan setempat.
Ada pula Saverius Sandra (21), anggota PPS TPS 02 Desa Poco Dendeng, Kabupaten Manggarai Barat. Ia meninggal setelah menabrak truk yang parkir di sisi jalan pada malam hari. Korban kecelakaan setelah menjalankan tugas mengamankan surat suara di TPS itu.
Yunus Sapai (34), anggota linmas dari Desa Oebelo, Kecamatan Amanatun Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Ia meninggal pada Rabu 17 April pukul 21.00 Wita setelah mengamankan pemilu di TPS 02 Oebelo.
Ada pula Godlief Temaf (48), anggota PPS TPS 09, Desa Manlete, Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang meninggal pada Kamis, 25 April karena kelelahan. Korban juga memiliki riwayat penyakit jantung dan maag kronis.
Sementara itu, 24 petugas Pemilu 2019 sedang mengalami sakit, tersebar di 16 kabupaten/kota. Sebagian dirawat di rumah Ssakit setempat dan sebagian rawat jalan. Mereka rata-rata sakit akibat kelelahan.
”Santunan terhadap korban meninggal dan korban sakit sedang dibahas pemerintah dan KPU. Kami minta keluarga atau ahli waris bersabar,” kata Koli.
Mengenai kesehatan petugas saat perekrutan, usia mereka sebagian besar di bawah 50 tahun. Namun, panitia seleksi, tidak mempertimbangkan kondisi kesehatan masing-masing petugas, tidak ada pemeriksaan khusus.
Santunan terhadap korban meninggal dan korban sakit sedang dibahas pemerintah dan KPU. Kami minta keluarga atau ahli waris bersabar.
Ia mengajak semua pihak untuk tidak saling menyalahkan. Semua peristiwa yang terjadi sekitar Pemilu 2019 menjadi bahan evaluasi bagi pelaksanaan pemilu ke depan.