Penyandang Disabilitas Intelektual Belum Mampu Selamatkan Diri secara Mandiri
Penyandang disabilitas masih kesulitan menyelamatkan diri mereka dalam kondisi bencana. Hal itu terlihat dalam pelatihan simulasi bencana yang digelar Jumat (26/4/2019) di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·2 menit baca
BBRSPDI TEMANGGUNG
Sebanyak 150 penyandang disabilitas intelektual mendengarkan penjelasan dalam acara simulasi evakuasi bencana gempa di BBRSPDI Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (26/4/2019).
MAGELANG, KOMPAS — Penyandang disabilitas masih kesulitan menyelamatkan diri mereka dalam kondisi bencana. Hal itu terlihat dalam pelatihan simulasi bencana yang digelar pada Jumat (26/4/2019) di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Kepala Seksi Advokasi Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual (BBRSPDI) Suratinah mengatakan, dalam simulasi bencana tersebut, sebanyak 150 penyandang disabilitas tidak mampu secara mandiri mengikuti arahan untuk menyelamatkan diri. Sebaliknya, mereka justru berebut menjadi pusat perhatian untuk diselamatkan.
Pada akhirnya, kondisi tersebut membuat simulasi berjalan kacau, di luar skenario. ”Sebelumnya jumlah korban dalam skenario hanya dua orang. Namun, pada akhirnya, ada 7-8 orang yang ingin menjadi perhatian dan langsung tiba-tiba berakting, berpura-pura ikut menjadi korban,” ujarnya.
BBRSPDI TEMANGGUNG
Simulasi evakuasi bencana gempa dilaksanakan di BBRSPDI Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (26/4/2019).
Kebanyakan penyandang disabilitas tersebut senang menjadi korban karena berkesempatan untuk diperhatikan dan merasakan ditandu.
Pada Jumat, BBRSPDI menggelar simulasi evakuasi bencana gempa bumi. Simulasi yang diikuti 150 penyandang disabilitas tersebut diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, 26 April 2019.
Sebelum melakukan simulasi, Suratinah mengatakan, pihaknya terlebih dahulu melakukan empat hingga lima kali latihan. Kendati demikian, tetap saja simulasi tidak berjalan lancar karena penyandang disabilitas sulit untuk diarahkan. Hal itu terlihat di awal simulasi, ketika alarm gempa berbunyi, penyandang disabilitas tidak mau berlari mengikuti arahan menuju dua posko pengungsian yang telah disediakan.
”Sekalipun sudah dipandu dan dilatih sebelumnya, mereka tetap saja berlari berhamburan tidak menentu ke berbagai arah di luar titik yang menjadi lokasi pengungsian,” ujarnya.
Sekalipun sudah dipandu dan dilatih sebelumnya, mereka tetap saja berlari berhamburan tidak menentu ke berbagai arah di luar titik yang menjadi lokasi pengungsian.
Melihat kondisi tersebut, Suratinah menyebutkan, bisa disimpulkan bahwa penyandang disabilitas perlu mendapatkan pelatihan ataupun simulasi bencana secara lebih intensif.
Namun, di satu sisi, hal itu pun sulit dilakukan karena mereka juga membutuhkan lebih banyak waktu untuk pelatihan berbagai hal lain, seperti program pelatihan keterampilan.
”Dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk program-program lain, mungkin kami hanya bisa menyelenggarakan satu atau dua kali simulasi per tahun,” ucapnya.
BBRSPDI TEMANGGUNG
Simulasi evakuasi bencana gempa dilaksanakan di BBRSPDI Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (26/4/2019).
Agus (20), penyandang disabilitas intelektual asal Kabupaten Bantul, DIY, mengatakan, di rumah, dirinya pernah mengalami bencana gempa bumi. Namun, dia mengaku sudah tidak ingat apa yang dilakukannya waktu itu.
”Saya cuma ingat bahwa ketika itu, saya diajak untuk berlari kencang ke luar rumah,” ujar Agus.
Rizal (25), penyandang disabilitas intelektual asal Purbalingga, mengatakan, di kampung halamannya, dirinya juga pernah merasakan gempa.
Dalam simulasi di BBRSPDI, dia mengaku tidak kesulitan untuk mengikuti arahan karena menurut dia yang terpenting untuk dilakukan adalah berlari menyelamatkan diri.
”Hanya saja, karena panik dan bingung, saya dan beberapa teman banyak yang kurang berhati-hati, berlari tanpa melihat jalan dan akhirnya jatuh,” ucap Rizal.