Saksi Bahasa: Ratna Sarumpaet Timbulkan Keonaran Melalui Berita Bohong
Ratna Sarumpaet dinilai telah menyebabkan keonaran di masyarakat melalui berita bohong penganiayaan dirinya. Saksi ahli bahasa Wahyu Wibowo menyebutkan hal itu dalam sidang lanjutan perkara dugaan berita bohong di PN Jakarta Selatan, Kamis (25/4/2019).
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ratna Sarumpaet dinilai telah menyebabkan keonaran di masyarakat melalui berita bohong penganiayaan dirinya. Saksi ahli bahasa Wahyu Wibowo menyebutkan hal itu dalam sidang lanjutan perkara dugaan berita bohong di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (25/4/2019).
Sidang ini menghadirkan sejumlah saksi ahli, yaitu ahli bahasa Wahyu Wibowo, ahli digital forensik Saji Purwanto, dan ahli pidana Metty Rahmawati Argo.
Dalam dakwaan, Ratna dinilai melanggar Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45 A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana menyebutkan, barang siapa dengan sengaja menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum-dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 10 tahun.
”Dalam kamus, onar berarti keributan. Onar tidak berarti hanya keributan fisik. Bisa saja timbul tanya yang membuat orang gaduh dan heran. Onar dalam konteks filsafat bahasa seperti itu. Dua orang saja sudah cukup untuk buat onar. Kemudian berkembang melibatkan orang yang lebih banyak,” ucap Wahyu. Ia menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum Daru Tri Sadono tentang makna kata onar.
Wahyu kemudian menjelaskan makna menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong. Menurut dia, ada kaitan atau benang merah dari tindakan menyebarluaskan agar umum dapat mengetahui.
Wahyu menekankan, seseorang menyampaikan sesuatu atau menyebarkan tindakan yang terjadi tentu dengan niat atau ada kemauan. Untuk memahaminya harus kembali ke konsep atau maksud dari menyebarluaskan. Kesan yang muncul, ada seseorang yang meminta maaf karena telah melakukan kebohongan.
”Orang saling mengungkapkan opini yang tidak jelas (belum teruji kebenarannya), lalu bisa menimbulkan perpecahan. Itu bisa terjadi melalui media sosial sebagai wakil dari bahasa lisan,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan, berita yang disebarkan menimbulkan opini publik. Berita melalui media arus utama cenderung tidak menimbulkan keonaran karena ada kode etik yang mengatur. Namun, media sosial tidak memiliki kode etik sehingga bisa menimbulkan keonaran.
Penyebaran melalui Whatsapp
Ratna menyebarkan berita bohong penganiayaan melalui Whatsapp. Ia mengirimkan foto wajah lebam dan bercakap penyebab lebam melalui aplikasi pesan instan itu.
Dalam persidangan, ahli digital forensik Saji Purwanto menampilkan percakapan Whatsapp Ratna dengan Fadli Zon dan Said Iqbal.
Isi percakapan menunjukkan, Ratna mengirimkan foto wajah lebamnya kepada Fadli Zon dan Saiq Iqbal.
Ketua Majelis Hakim Joni bertanya tentang isi tangkapan layar pesan Whatsapp yang ditampilkan.
”Dia mengirimkan gambar, kemudian selanjutnya diberi keterangan,” ujar Saji.
Isi tangkapan layar obrolan Ratna dengan Fadli Zon itu ialah dua foto wajah lebam disertai tulisan ”Off the record, 21 September malam bandara Bandung. 08 harus tau kasus apa yang mengancam saya itu”.
Kepada Said Iqbal, Ratna mengirim satu foto wajah lebam. Ia juga meminta dipertemukan dengan Prabowo Subianto.
Sementara ahli hukum pidana Metty Rahmawati Argo mengatakan, ada dua motif orang yang berstatus publik figur memberitakan kebohongan kepada publik.
”Jadi, kita harus melihat niat awal. Pertama, niatan untuk menarik simpati dari masyarakat. Kedua, untuk menimbulkan keonaran. Dia inginkan orang simpati, supaya orang kasihan atau dia inginkan ada kericuhan? Dia sadar sebagai publik figur tidak disukai banyak orang. Maka dari itu, dia sengaja menimbulkan keonaran,” katanya.
Metty menambahkan, publik figur akan lebih mudah memengaruhi masyarakat karena memang punya pengaruh yang cukup kuat.
”Memberitahukan kebohongan dengan sengaja menimbulkan keonaran. Dalam konteks tersebut, kalau orang menyiarkan kabar dan membuat keonaran bisa dijatuhi pidana,” ucapnya.