Menara Seruling, Keping Sejarah Pertahanan di Malang
Malang tidak hanya dikenal sebagai kota wisata dengan keindahan alam dan budayanya. Lebih jauh, Malang boleh dibilang sebagai kota militer sejak bertahun-tahun lalu. Dan, kota militer atau garnisun itu tetap bertahan hingga sekarang.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·6 menit baca
Malang tidak hanya dikenal sebagai kota wisata dengan keindahan alam dan budayanya. Lebih jauh, Malang boleh dibilang sebagai kota militer sejak bertahun-tahun lalu. Dan, kota militer atau garnisun itu tetap bertahan hingga sekarang.
Sebuah besi menjulang tinggi 15 meter dengan sebuah sirene di ujungnya, tampak menjulang memecah birunya langit Kota Malang, Rabu (24/4/2019). Menara besi yang mulai berkarat itu terletak di antara rumah-rumah warga di Jalan Muharto, Kelurahan Kotalama, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Untuk mencarinya tidak sulit, karena lokasinya tidak jauh dari mulut Gang I Muharto.
”Dahulu, katanya, menara itu sudah ada sejak zaman Belanda. Biasanya sirene akan dibunyikan saat ada bahaya, misalnya ada tentara Belanda,” kata Miski (60), warga di Jalan Muharto. Miski menceritakan, sirene itu sudah puluhan tahun tidak berbunyi karena mesinnya diambil, entah oleh siapa. Kira-kira terakhir kali sirene itu masih bisa didengar pada tahun 1970-an.
Pada era terakhir keberadaannya, sirene itu juga berfungsi sebagai penanda waktu berbuka puasa. ”Setahu saya dahulu ada beberapa sirene seperti ini, yaitu di sini, stasiun, dan di Dinoyo,” katanya. Namun saat dicek, dua lokasi sirene tersebut saat ini sudah tidak berwujud.
Dalam buku Malang Tempo Doeloe Djilid Doea (2006) karya Dukut Imam Widodo, menara seruling atau menara sirene tanda bahaya itu tercatat pernah dibangun di beberapa lokasi di Kota Malang. Seperti di Jalan Nusa Kambangan, Jalan Muharto, Jalan Lembang (Samaan), Jalan Ahmad Yani (Blimbing), dan Jalan Kaliurang. Menara itu diduga dibangun oleh Belanda untuk mempertahankan Malang menjelang masuknya tentara Jepang.
Beberapa sumber internet seperti Ngalam.co menyebut bahwa menara seruling itu dibangun pada tahun 1938 hingga 1940. Sirene atau seruling itu dapat dioperasikan manual ataupun dengan listrik. Untuk yang manual, para pekerja memutar seruling tersebut. Mereka bisa naik melalui tangga yang tersedia di menara.
Menara seruling itu, kini menjadi sisa keping sejarah pertahanan atau perjuangan di Kota Malang.
Kisah perjuangan
Malang Raya selama ini juga dikenal sebagai salah satu kota pejuang. Banyak kisah perjuangan berasal dari Malang. Salah satu contohnya adalah keberadaan Laskar Sabilillah. Pada November 1945, Laskar Sabilillah bergerak ke Surabaya membantu pertempuran 10 November 1945.
Laskar Sabilillah merupakan himpunan kekuatan dari santri dan ulama asal Malang. Saat itu, panglima Laskar Sabilillah adalah KH Masykur. Dalam perang itu, tidak sedikit anggota Laskar Sabilillah meninggal di medan tempur kawasan Wonokromo Surabaya serta Waru dan Buduran Sidoarjo.
Untuk memperingati perjuangan Laskar Sabilillah, tahun 1974 dibangun Masjid Sabilillah di Jalan Ahmad Yani, Kota Malang. KH Masykur, panglima perang Laskar Sabilillah, merupakan salah satu konseptor pembangunan masjid tersebut. Lahan kosong tempat dibangunnya Masjid Sabilillah dahulu merupakan jalur gerilya Laskar Hisbullah dan Sabilillah.
Perjuangan lain di Malang dilakukan oleh Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Pasukan TRIP, yang baru dibentuk tahun 1946, bergabung dengan Brigade 17 di Jatim untuk disebar ke daerah-daerah di Jatim. TRIP saat itu dipecah dalam lima batalyon (Batalyon TRIP 5000 berkedudukan di Malang).
Pada 31 Juli 1947, pelajar berusia belasan tahun (15-18 tahun) menghadapi prajurit profesional Belanda dengan persenjataan lengkap. Bersenjatakan pistol rampasan perang atau senjata rakitan para pelajar itu sendiri, mereka melawan tank dan meriam canggih Belanda. Tak ayal, puluhan pejuang pelajar itu gugur dan dimakamkan di satu liang di lokasi kini menjadi Taman Makam Pahlawan TRIP.
”Terugval” basis
Lebih jauh terkait Malang sebagai basis pertahanan, Dwi Cahyono, sejarawan dari Universitas Negeri Malang, mengatakan, dunia militer atau pertahanan di Malang Raya tidaklah terlepas dari kondisi geografis. Malang Raya secara geografis berada dalam naungan pegunungan, baik di sisi utara, barat, timur, maupun selatan. Di sisi selatan, Malang dilindungi lautan dengan pegunungan kapur selatannya.
Adapun di utara, Malang Raya seolah dilindungi Gunung Arjuno dan Welirang. Di sisi Barat, Malang dilindungi Gunung Kawi. Dan di sisi timur, Malang seolah dilindungi Gunung Semeru dan pegunungan Tengger (Bromo dan lainnya).
”Kondisi geografis itulah yang membuat Malang Raya merupakan basis pertahanan yang cukup aman. Untuk sektor penerbangan, mengendarai pesawat di antara pegunungan tidaklah mudah. Mungkin tekanan udara di antara pegunungan itu berpengaruh. Ini menjadikan Malang sejak lama sudah menjadi incaran penjajah dan menjadikannya sebagai terugval basis atau basis pertahanan terakhir,” kata Dwi.
Kondisi geografis itulah yang membuat Malang Raya merupakan basis pertahanan yang cukup aman. Untuk sektor penerbangan, mengendarai pesawat di antara pegunungan tidaklah mudah.
Dwi juga menduga, ada garis lintasan purba mengelilingi Malang, di mana salah satu bukti fisik paling kentara adalah keberadaan goa-goa di sana. Goa, menurut Dwi, merupakan salah satu lokasi pertahanan militer, bangunan pusat kebudayaan masyarakat lokal, atau untuk fungsi lain.
Goa Lawang di Dusun Mlaten, Desa Ketindan, Kecamatan Lawang, misalnya, menurut Dwi, berada di lintasan purba Lawang atau Lawang Pass. Lintasan ini secara geografis menjadi benteng Malang dari sisi utara, yaitu melalui Pelabuhan Bangil, Pasuruan, dan Pelabuhan Ujung, Surabaya.
Lawang Pass ini pada era kolonial menjadi pusat pertahanan Belanda, terbukti dengan adanya tangsi-tangsi militer di sisi timur rel kereta api Lawang.
Tidak jauh berbeda, keberadaan Goa Jepang di Desa Tlekung, Kecamatan Junrejo, Kota Batu. Lokasinya cukup mudah dijangkau karena hanya sekitar 20 kilometer dari tengah Kota Malang.
Goa Tlekung juga menempati lintasan purba Batu Pass yang menghubungkan Singosari ke Kediri. Di lintasan ini, kala itu juga terdapat markas militer. Saat ini, basis militer di sana adalah Arhanud Karangploso yang merupakan basis militer di sisi barat Malang menuju Ngantang, Pujon, dan sekitarnya.
Di sisi selatan Malang, terdapat Kepanjen Pass yang menghubungkan Malang dengan Blitar, Tulungagung, dan kota-kota sekitarnya. Sebagai benteng pertahanan di sisi selatan, kini terdapat Batalyon Zeni Tempur (Yon Zipur) Kepanjen. Batalyon itu disiagakan membentengi Malang dari sisi selatan, melalui celah Kawi dan perbukitan kapur selatan.
Adapun di sisi timur, dalam tinjauan sejarah, menurut Dwi, terdapat jalur purba Ampelgading Pass. Jalur ini dulu dibuat untuk membatasi Malang dengan Lumajang. Di masa kini, tidak jauh dari sana, tepatnya di Purboyo, terdapat markas TNI Angkatan Laut.
Dan jika itu belum cukup untuk menyebut betapa pentingnya posisi Malang sebagai terugval basis, maka mari dilihat dari geopolitik Malang Raya. Wilayah berketinggian di atas 600 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut menjadi sumber mata air dari Sungai Brantas, sebuah sungai utama yang menghidupi Jawa Timur. Sungai sepanjang 320 kilometer tersebut melintasi 16 kabupaten/kota di Jatim. Kawasan DAS Brantas mencapai luasan 14.000 kilometer persegi.
Jika sungai utama itu rusak, tak terbayangkan apa yang akan terjadi pada masyarakat Jawa Timur. Tak salah jika orang Jatim berjuang keras mempertahankan Sungai Brantas sebagai pertahanan terakhir hidup mereka.