Indonesia Paling Rawan Tuberkulosis, Penanganan Harus Sesuai Standar Nasional
Indonesia menjadi salah satu negara paling rawan terkena tuberkulosis sehingga perlu penanganan sesuai standar yang telah ditetapkan pemerintah dalam program nasional.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menjadi salah satu negara paling rawan terkena tuberkulosis sehingga perlu penanganan sesuai standar yang telah ditetapkan pemerintah dalam program nasional. Setiap rumah sakit dan layanan kesehatan lainnya diharapkan mampu memberikan pelayanan yang tepat.
Indonesia merupakan negara dengan beban tuberkulosis (TB) tertinggi ketiga di dunia setelah India dan China. WHO Global TB Report 2018 memperkirakan insiden TB sebesar 842.000 kasus dengan mortalitas 107.000 kasus.
Direktur Utama RSUP Persahabatan Mohammad Ali Toha, Kamis (25/4/2019), di Jakarta, mengatakan, dari jumlah kasus, Indonesia masuk dalam tiga besar. Namun, jika dibandingkan dengan persentase penduduknya, kemungkinan Indonesia bisa masuk nomor satu.
”Pemerintah telah menargetkan pada 2030 terdapat penurunan jumlah insiden TB hingga 90 persen dan kematian 85 persen dibandingkan 2015. Caranya dengan memperluas deteksi pasien TB,” kata Ali dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (25/4/2019).
Pemeriksaan secara intensif diperlukan agar mudah untuk deteksi TB. Karena itu, dibutuhkan edukasi kepada seluruh rumah sakit terkait tata laksana penanganan TB mulai dari awal sampai akhir.
Anggota Kelompok Staf Medik Paru Divisi Infeksi RSUP Persahabatan, Priyanti Z Soepandi, mengatakan, kasus TB resisten obat terus terjadi karena penanganan TB paru yang rendah. Pasien TB seharusnya mendapat penanganan dan pengawasan secara intensif selama enam bulan.
”Rumah sakit harus menjalankan DOTS (directly observed treatment shortcourse) dengan mendiagnosis dan menyediakan obat secara tepat,” ujar Priyanti.
Selain rumah sakit, puskesmas dan layanan kesehatan lainnya diharapkan dapat menangani pasien TB secara tepat.
Dokter spesialis paru RSUP Persahabatan, Fathiyah Isbaniah, mengatakan, pemerintah telah memiliki program nasional yang harus diikuti oleh rumah sakit dalam melayani pasien TB.
Menurut Fathiyah, masih banyak rumah sakit di Indonesia yang belum mengerti terkait pencatatan dan pelaporan kasus TB. Karena itu, diperlukan akreditasi bagi rumah sakit agar mereka dapat menangani kasus TB dengan tepat.
Sebagai contoh, RSUP Persahabatan melayani pasien TB dengan resistensi obat. Saat ini RSUP Persahabatan telah terakreditasi internasional terhadap TB resistensi obat dengan komplikasi gangguan ginjal dan hati. RSUP Persahabatan juga memiliki tim intervensi dalam menangani TB usus, saraf, dan tulang.
Daya tahan
Ketua Komite Mutu RSUP Persahabatan Heidy Agustin mengatakan, orang yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah cenderung mudah terserang TB. Karena itu, penderita TB banyak ditemui pada pasien HIV/AIDS dan diabetes melitus.
”Sebesar 30 persen pasien diabetes di RSUP Persahabatan terkena TB,” ujar Heidy sambil menambahkan bahwa orang normal dapat hidup dengan kuman TB, tetapi ia tidak terserang penyakit karena daya tahan tubuhnya kuat.
Ketika daya tahannya menurun seperti penderita HIV/AIDS, mereka akan mudah terkena TB. Begitu juga dengan pasien diabetes. Ketika daya tahannya bagus, ia tidak akan mudah terkena TB. Namun, ketika daya tahannya tidak stabil, ia mudah terkena TB.
Penyakit TB mudah menular. Penderita TB mudah menularkan penyakitnya ketika ia batuk, bersin, bahkan ketika sedang bicara. Meskipun demikian, masyarakat diharapkan tidak memberikan stigma buruk bagi penderita TB dan memotivasinya agar cepat sembuh.