Regulasi yang Fleksibel Topang Sektor Jasa di Era Digital
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kontribusi sektor jasa dinilai berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di era digital. Namun, hambatan mengembangkan sektor jasa malah datang dari regulasi pemerintah yang tidak fleksibel.
“Hambatan pengembangan sektor jasa, salah satunya datang dari aturan mengenai lokalisasi data. Aturan ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012,” kata analis kebijakan dari Indonesia Services Dialogue (ISD) Council, Muhammad Syarif Hidayatullah di Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Paparan ini disampaikan dalam konferensi pers Public Private Discussion (PPD) Asia Pacific Services Coalition (APSC). Tema yang diangkat, yaitu “The Impact of New Technologies; Implementing the APEC Services Competitivenes Roadmap in the Digital Era”.
Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari 21 negara anggota APEC dan perwakilan Kementerian/Lembaga terkait. Hasil pembahasan diskusi akan menjadi rekomendasi untuk pembahasan APEC di sektor jasa dalam APEC Summit 2019 di Chile pada November 2019.
Syarif menjelaskan, dengan aturan ini maka semua orang yang yang bergerak di industri digital, harus menggunakan pusat data lokal agar datanya tidak ke luar negeri. Restriksi ini yang menghambat perkembangan sektor jasa.
“Padahal, selama ini pelaku industri digital banyak yang lebih memilih pusat data asing seperti Cloud karena dinilai lebih murah dan mudah. Di negara lain pun, termasuk Singapura, pelaku usaha dibebaskan untuk memilih akan menggunakan pusat data yang mana,” tutur dia.
Memang demikian seharusnya, yaitu keputusan bisnis diserahkan kepada pelaku usaha. Pengelolaan data suatu perusahaan tidak perlu terlalu diregulasi karena yang mengetahui sensitivitas data adalah pelaku usaha.
“Sementara untuk data yang dinilai sensitif, misalnya data kependudukan, data keuangan, dan data kesehatan, pemerintah dapat meregulasinya. Yang terpenting adalah pembagian klasifikasi yang jelas dari pemerintah,” ujar Syarif.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Perundingan Perdagangan Jasa Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iskandar Panjaitan juga mengakui, hambatan di sektor jasa umumnya datang dari regulasi. Maka, di era digital, pemerintah harus pintar membuat regulasi yang ramah terhadap pengusaha.
Iskandar melanjutkan, pembuatan regulasi yang ramah bagi pengusaha juga harus mempertimbangkan perlindungan konsumen serta hal moralitas yang sensitif. “Sehingga kebijakan yang dibuat tidak merugikan siapa pun,” katanya.
Hambatan di sektor jasa umumnya datang dari regulasi. Di era digital, pemerintah harus jeli membuat regulasi yang ramah bagi dunia usaha.
Founder, Australian Services Roundtable and Co-Convenor, Asia Pacific Services Coalition Professor Jane Drake-Brockman juga menyampaikan hal senada. Dia menegaskan, pemerintah sebagai regulator harus membuat kebijakan yang fleksibel agar inovasi dapat terus berkembang.
“Dunia bisnis saat ini berubah begitu cepat, itulah mengapa pemerintah harus mendengar apa yang sebenarnya terjadi dari para pelaku bisnis. Sehingga kebijakan yang dibuat nantinya berasal dari berbagai perspektif dan dapat menjalin kerja sama yang lebih baik,” ujarnya.
Perjanjian dagang
Sejalan dengan itu, para Menteri Ekonomi ASEAN juga bersepakat untuk memperkuat perdagangan jasa antarnegara di kawasan Asia Tenggara. Hal ini diwujudkan dalam penandatanganan perjanjian perdagangan jasa ASEAN (ASEAN Trade in Services Agreement/ATISA) di sela pertemuan ASEAN Economic Minister (AEM) Retreat ke-25 di Phuket, Thailand pada Selasa kemarin.
Komitmen yang diberikan pada perjanjian ATISA merupakan komitmen kerangka perjanjian jasa ASEAN (ASEAN Framework Agreement on Services/AFAS) paket terakhir yang terdiri dari AFAS paket ke-10, AFAS Keuangan Paket ke-9, dan AFAS Transportasi Udara Paket ke-11. Paket tersebut telah ditandatangani oleh para Menteri Ekonomi, Menteri Keuangan, dan Menteri Perhubungan ASEAN.
“ATISA akan meningkatkan akses pasar, investasi serta peluang yang lebih luas bagi penyedia jasa dalam negeri ke sesama negara anggota ASEAN,” ujar Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita.
Lanjutnya, perjanjian ini dapat mengatasi hambatan bagi penyedia jasa di ASEAN, khususnya Indonesia. Selain itu, dapat menciptakan iklim usaha yang stabil dan dapat diprediksi untuk perdagangan jasa dan mempersiapkan integrasi dan liberalisasi sektor jasa di masa depan untuk ASEAN.
“Implementasi ATISA akan mendorong transparansi sekaligus berpotensi meningkatkan akses pasar bagi penyedia jasa di ASEAN. Konsumen di sektor jasa pun mendapatkan keuntungan karena meningkatnya variasi pilihan atas produk-produk jasa yang terliberalisasi dan ditawarkan di ASEAN,” kata dia.
Pada saat diimplementasikan, ATISA akan menjadi bagian ketiga dan final dari “troika” Perjanjian ASEAN. Hal ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan integrasi sektor di ASEAN bersama dengan perjanjian perdagangan barang ASEAN (ASEAN Trade in Goods Agreement/ATIGA) dan perjanjian investasi komprehensif ASEAN (ASEAN Comprehensive Investment Agreement/ACIA).