Mengenali Kekerasan dalam Pacaran
Jangan senang dulu dan merasa beruntung ketika si pacar dalam sehari menelepon berulang kali untuk menanyakan apa yang kita lakukan dan dengan siapa. Lalu buntutnya dia melarang berteman dengan sahabat kita, si A atau si B, dengan banyak alasan. Hati-hati, loh, perhatian seperti itu bisa membuai kita.
Tampaknya, kekasih sangat perhatian yang berarti dia benar-benar sayang kita, tapi kebiasaan sang bebeb yang main larang bisa menjurus ke arah kurang sehat. Apalagi kalau buntutnya ia menambahkan sejumlah larangan lain, misalnya enggak boleh pakai jins skinny dan lainnya. Bisa-bisa ia sudah melakukan kekerasan dalam pacaran.
Apa, sih, kekerasan dalam pacaran? Ternyata belum semua anak muda paham. Pemahaman Laudia dan dua temannya yang baru lulus dari sebuah sekolah menengah kejuruan di Cikarang, Bekasi, umpamanya, baru sebatas pada kekerasan fisik. ”Kalau pacar saya memukul, itu setahu saya kekerasan dalam berpacaran,” katanya.
Ketiganya sengaja datang ke diskusi interaktif bertema ”Bagaimana Cara Kita Berkontribusi dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan” di Jakarta pada Minggu (21/42/2019). Dalam acara itu kemudian mereka baru tahu bahwa kekerasan dalam pacaran itu tak hanya fisik, tapi juga psikis seperti makian atau julukan yang tak nyaman bagi pasangan.
Pengetahuan yang terbatas mengenai definisi kekerasan dalam berpacaran membuat para korban pada awalnya tak merasa bahwa dirinya menjadi korban kekerasan.
Billa, mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta, dan Afit, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Jakarta, pernah menjadi korban kekerasan dalam berpacaran.
Billa selalu dikekang sang pacar, enggak boleh berteman dengan orang lain, berpakaian harus sesuai dengan keinginan pacar dan lainnya. ”Aku kira itu karena dia sayang sama aku. Baru tahu kalau larangan-larangan dia masuk kategori kekerasan dalam pacaran. Sebenarnya aku kesal dilarang terus, tapi anehnya aku nurut,” ujar Billa yang masih bimbang mau meneruskan hubungan atau putus.
Di satu sisi, Afit bisa menjadi contoh sosok cewek yang semula tak menyadari dirinya jadi korban kekerasan dari pacar, tapi segera sadar sudah menjadi korban perlakuan tak pantas dari pasangan lalu memutuskan berpisah.
”Mantan pacarku itu waktu SMA tinggal sekota denganku. Sebelum pacaran, kami sudah lama bersahabat. Lalu karena dia ingin kuliah di Bandung dan diterima di sebuah perguruan tinggi di sana, pindahlah dia ke Bandung. Sebenarnya ia minta aku juga kuliah di sana, tapi untung aku enggak diterima di perguruan tinggi di Bandung,” tutur Afit mengawali ceriteranya.
Awalnya hubungan sejoli ini terjalin lancar, tetapi empat bulan kemudian si pacar mulai berkata kasar kepadanya. Dia sering menelepon untuk menanyakan keberadaan dia dan dengan siapa pergi.
”Dia sering banget menelepon sampai aku terganggu. Pernah waktu aku sedang ujian bahasa Inggris, dia menelepon. Aku tidak menjawabnya, tapi dia terus menelepon tak berhenti sampai risi dan harus keluar ruangan untuk menerima teleponnya,” kata Afit.
Meski cewek mungil yang kini tengah menyusun skripsi itu menjelaskan ia sedang ujian sehingga tak bisa menerima telepon, si pacar tak mau menerima. Dia tetap marah sehingga Afit gagal menyelesaikan ujiannya. ”Aku sampai menangis di kelas. Malu sekali akhirnya aku batal ikut ujian,” katanya
Meski berkali-kali bertengkar karena Afit tak mau menerima perlakuan pacar, toh, hubungan pasangan ini putus-nyambung. Afit tetap belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Pada kondisi itu ia tetap masih mau membantu pacarnya menyelesaikan tugas kampus, ia tetap mau menerima makian yang menyebut dia tak berpendidikan.
”Aku sebenarnya kepengin putus beneran. Tapi kupikir, ah malas gonta-ganti pacar. Yang aku tidak paham hanya mengapa dia bisa berubah sekali menjadi kasar, pemarah, tukang ngatur,” katanya.
Delapan bulan mengalami keadaan itu, rupanya membuat Afit kerap menangis. Melihat kondisi Afit, salah satu dosen di kampus mengenalkan dia ke komunitas HelpNona.
”Di situlah aku curhat. Aku juga datang ke pertemuan mereka. Ternyata banyak orang bernasib kayak aku, he-he-he.... Senang bisa berkumpul dengan teman sesama korban. Kami bisa saling cerita dan menguatkan,” kata Afit ceria. Kini ia sudah berpisah dengan pacar yang menyakitinya.
Hargai diri sendiri
Menyikapi banyak kasus kekerasan dalam pacaran yang tak hanya menimpa kaum cewek tapi juga para cowok, Nanda Rizka Saputri, Ketua Bidang Perencanaan dan Pengembangan Pengurus Nasional GenRe Indonesia, mengingatkan, remaja perlu menghargai diri sendiri agar terhindar dari tindak kekerasan pacar atau teman. Konsep diri itu penting supaya setiap remaja tak merelakan dirinya dengan mudah untuk disakiti pihak mana pun.
”Kalau kita menghargai diri sendiri dengan baik, otomatis tak akan membuat kita mau saja menerima perlakuan kasar orang lain, termasuk dari pacar. Kita juga enggak mau makan sembarangan karena tahu akan berakibat buruk bagi tubuh kita. Konsep diri itulah yang perlu jadi pegangan,” ujar Nanda yang juga konselor di Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR), lembaga yang dibentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
Dari pengalaman menerima keluhan para korban, kekerasan pada pacaran banyak menimpa remaja, mulai SMP sampai mahasiswa, cewek maupun cowok. Pada remaja SMP-SMA, bentuk kekerasan lebih ke verbal dengan korban sebagian besar cowok, sementara para mahasiswi mendapat kekerasan fisik hingga seksual.
”Pada mahasiswa, sebagian besar yang datang cewek. Ada kasus mereka mengalami kekerasan dalam pacaran karena sudah pernah berhubungan seksual dengan pacar. Oleh karena pernah beberapa kali berhubungan seks, si cewek merasa dirinya tak berharga sehingga ia pasrah diperlakukan apa pun karena ingin dinikahi pacar,” urai Nanda soal kasus kekerasan pada mahasiswa.
Nanda menyarankan, para korban bisa datang ke komunitas tempat curhat atau lembaga seperti PIK-KRR bagi yang membutuhkan bantuan psikologi dan fisik (jika mengalami luka fisik). ”PIK-KRR ada di setiap puskesmas atau kampus dan layanannya gratis,” katanya.