Sejak tahun 2016, Pemerintah Kota Banda Aceh mengeluarkan kebijakan pembatasan penggunaan kantong plastik. Namun, langkah itu belum berjalan ideal. Kini, sampah plastik masih bertebaran di mana-mana.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
Sejak tahun 2016, Pemerintah Kota Banda Aceh, Aceh, mengeluarkan kebijakan pembatasan penggunaan kantong plastik. Namun, langkah itu belum berjalan ideal. Kini, sampah plastik masih bertebaran di mana-mana.
Pantai Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, menjadi saksi. Selasa (23/4/2019), pemandangan pantai berpasir hitamnya dipenuhi noda. Sampah botol minuman, plastik kemasan makanan ringan, dan popok bayi mengusik keindahannya. Plang ajakan menjaga kebersihan di pantai sepanjang 4 kilometer itu tampaknya tak penting bagi si pembuang sampah itu.
Kompas mencoba mengumpulkan sampah plastik itu. Di area sepanjang 30 meter, setidaknya ada 50 jenis sampah yang didominasi botol minuman. Sampah plastik juga terlihat di tepi jalan dan parit sepanjang jalan sekitar Pantai Alue Naga. Sampah plastik bertebaran di samping tempat pembuangan sampah program kotaku tanpa kumuh.
Manajer Program Jaringan Advokasi Laut Aceh Crisna Akbar menuturkan, sampah plastik telah mencemari keindahan pantai dan mengancam kelestarian lingkungan. Dia prihatin dengan sikap warga kota yang membuang sampah ke pantai.
”Warga kita jangankan mengelola sampah, membuang sampah pada tempatnya saja masih belum terbiasa,” ujar Crisna.
Ia juga menyayangkan laut Aceh menjadi dermaga bagi sampah plastik dari luar negeri. Tahun 2018, mereka sudah dua kali membersihkan pantai di wilayah Kabupaten Aceh Besar. Terkumpul sekitar 300 sampah botol plastik produksi luar negeri, seperti Sri Lanka, Maladewa, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Mereka juga pernah menemukan botol plastik dari Eropa, indikasinya dari merek dan asal negara produksi.
”Nanti kami akan menyurati negara asal sampah itu untuk ikut menjaga laut,” kata Crisna.
Sampah plastik yang paling banyak ditemukan di laut Aceh, ujar Crisna, adalah botol air kemasan dan kantong keresek produksi dalam negeri. Pihaknya sudah menyurati perusahaan air kemasan di Indonesia terkait hal ini. Perusahaan sebagai produsen sampah plastik, lanjutnya, seharusnya terlibat penuh melestarikan laut.
”Surat yang kami kirim lebih kepada mengajak perusahaan agar memberikan perhatian pada kelestarian lingkungan,” kata Crisna.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Keindahan Kota Banda Aceh Jalaluddin mengakui, pemerintah belum mampu menahan laju sampah plastik. ”Tantangan besar adalah bagaimana membangun kesadaran pada warga. Warga harus mencintai kotanya dengan tidak mengotori kota dengan sampahnya,” kata Jalaluddin.
Kota berpenduduk 260.000 orang itu dalam sehari memproduksi 260 ton sampah atau sama dengan satu orang menghasilkan 1 kilogram sampah. Sebagian besar sampah itu dihasilkan rumah tangga.
Dalam setahun, Banda Aceh memproduksi 182 ton sampah plastik. Jalaluddin menyebutkan, sampah rumah tangga hanya sebagian yang dikelola oleh warga dan sisanya berakhir ke tempat pembuangan akhir.
Beberapa kebijakan telah dikeluarkan, seperti pemberlakuan kantong plastik berbayar dan denda bagi warga yang membuang sampah sembarangan, tetapi hal belum memberikan hasil ideal.
Pada 2016, Wali Kota Banda Aceh meminta toko swalayan dan supermarket memberlakukan kantong berbayar dengan harapan warga menyediakan tas khusus saat berbelanja.
Akan tetapi, kebijakan itu hanya berjalan sebentar. Jalaluddin menuturkan, warga Banda Aceh belum terbiasa membawa tas sendiri untuk mengisi barang belanjaan.
Perlu kita gerakkan budaya sampahmu adalah tanggung jawabmu.
Tiga tahun kemudian, Pemkot Banda Aceh menerapkan denda bagi warga yang tertangkap tangan membuang sampah tidak pada tempatnya. Ancaman hukumannya kurungan 1 bulan hingga denda Rp 10 juta. Sembilan orang pernah ditangkap, tetapi hanya diberi peringatan agar tidak mengulangi perbuatannya.
”Kebijakan ini harus ditetapkan perlahan-lahan supaya tidak menimbulkan penolakan oleh warga,” kata Jalaluddin.
Strategi lain, lanjutnya, mendorong sekolah, kantor pemerintah, dan desa untuk mengelola sampah di lingkungan masing-masing. Ia menyebutkan, mengurangi produksi sampah plastik adalah tanggung jawab semua orang.
”Perlu kita gerakkan budaya sampahmu adalah tanggung jawabmu,” ujar Jalaluddin.