Pengadilan Tinggi Penang, Malaysia, membatalkan dakwaan penganiayaan dan pembunuhan seorang pekerja migran Indonesia oleh majikannya. Vonis itu mengejutkan dan dipertanyakan banyak pihak.
JAKARTA, KOMPAS —Pemerintah Indonesia sangat terkejut atas keputusan bebas murni bagi majikan Adelina Lisao (21). Putusan itu diambil oleh Pengadilan Tinggi Pulau Penang pada 18 April. Menurut catatan Pemerintah Indonesia, saksi dan bukti dalam kasus itu sangat kuat.
Dalam pernyataan tertulis yang dirilis, Senin (22/4/2019), Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menuturkan, Pemerintah Indonesia menghormati sepenuhnya hukum Malaysia. Di sisi lain, pemerintah juga berharap proses penyelidikan atas putusan itu, sebagaimana disampaikan Jaksa Agung Malaysia, dapat segera membuahkan hasil.
Dalam pernyataan yang dikirim melalui pesan pendek itu disebutkan, hingga putusan diambil, sejumlah saksi kunci belum dihadirkan dalam persidangan. Oleh karena itu, Kementerian Luar Negeri dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia Penang akan terus mengawal proses hukum kasus ini untuk memastikan Adelina Lisao mendapatkan keadilan.
Sementara menunggu hasil penyelidikan, KJRI Penang telah menunjuk pengacara guna melakukan watching brief dalam sidang-sidang berikutnya.
”Kita sudah menyampaikan harapan kita kepada JPU untuk banding atas putusan tersebut,” kata Iqbal.
Sebelumnya, sejak kasus ini dilaporkan pada Februari 2018, KJRI Penang telah melakukan berbagai upaya. Selain mengupayakan gaji dan kompensasi, KJRI juga telah memfasilitasi pemulangan jenazah almarhumah hingga ke kampung halamannya.
Tragis
Steven Sim, anggota parlemen di Penang, mengatakan, putusan pengadilan dalam kasus Lisao ”tragis sama tragisnya dengan kematian Lisao”.
Sim menyebutkan bahwa dirinya telah menghubungi jaksa agung, Tommy Thomas, yang telah berjanji untuk menyelidiki kasus ini.
Adelina Lisao diduga kerap disiksa dan dipaksa tidur di luar rumah bersama anjing oleh majikannya, seorang warga Penang, Malaysia. Pada Februari 2018, Lisao ditemukan terduduk tak berdaya di luar rumah majikannya dengan muka bengkak dan anggota tubuh penuh luka. Perempuan asal Nusa Tenggara Timur itu kemudian dibawa ke Rumah Sakit Bukit Mertajam. Setelah dirawat semalam, ia meninggal.
Majikan Adelina Lisao, Ambika MA Shan (61), dituduh atas perkara itu. Ia ditetapkan menjadi tersangka penganiayaan dan pembunuhan. Shan dijerat dengan Pasal 302 hukum pidana Malaysia dengan ancaman hukuman mati. Akan tetapi, minggu lalu, Pengadilan Tinggi Penang justru membebaskan Shan dari semua dakwaan.
Pengacara HAM terkemuka di Malaysia, Eric Paulsen, menyebut putusan itu ”mengejutkan dan tidak bisa diterima”.
”Ini termasuk satu dari kasus pelecehan yang menyita perhatian publik yang pernah ada dan entah bagaimana jaksa agung membatalkan kasus ini,” kata Paulsen yang juga anggota Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR).
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo juga mengecam keras putusan itu dan menyebutnya ”jauh dari rasa keadilan”. Wahyu menduga putusan itu diambil karena gagalnya pengadilan menghadirkan saksi kunci, seperti orangtua Lisao. Wahyu meminta Jakarta mengajukan protes.
Free Malaysia Today melaporkan, putusan Pengadilan Tinggi Penang ini juga disesalkan Tenaganita, organisasi pembela HAM yang mempromosikan dan mengadvokasi hak-hak perempuan, migran, dan pengungsi.
Direktur Eksekutif Tenaganita Glorene A Das mengatakan, jaksa agung harus menjelaskan mengapa tidak ada keadilan bagi Lisao ketika bukti-bukti sangat kuat. ”Mengapa pengadilan kita mengecewakannya? Mengapa Pemerintah Malaysia mengecewakannya? Di mana keadilan untuk Lisao?” katanya. (AFP/ADH/JOS)