Mantan Menteri Sosial dan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait kasus suap PLTU Riau dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dalam sidang putusan hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (23/4/2019).
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan Menteri Sosial dan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan kasus suap PLTU Riau dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dalam sidang putusan hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (23/4/2019). Namun, Idrus meminta waktu untuk mempertimbangkan putusan itu dalam tujuh hari ke depan.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Yanto itu menyatakan, Idrus Marham terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
”Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara 3 tahun dan denda sebesar Rp 150 juta, dengan ketentuan apabila denda itu tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan dua bulan,” kata Hakim Yanto.
Vonis itu lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni 5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan.
Setelah mendengar putusan tersebut, terdakwa Idrus dan penasihat hukumnya, Samsul Huda, berdiskusi dan menyatakan untuk mempertimbangkan ulang putusan hakim.
”Terima kasih hakim yang mulia. Setelah mendengar uraian pertimbangan putusan, kami penasihat hukum dan terdakwa menyatakan untuk pikir-pikir selama tujuh hari,” kata mereka.
”Seperti yang dikatakan penasihat hukum saya tadi, kami akan memanfaatkan waktu yang diberikan kepada undang-undang kepada saya untuk menentukan sikap lebih lanjut. Tentu semua tetap dalam koridor aturan yang berlaku,”ujar Idrus.
Keputusan untuk mempertimbangkan ulang putusan hakim juga disampaikan jaksa penuntut hukum KPK, Budhi Sarumpaet. ”Kami menyatakan pikir-pikir,” katanya. Alasan keputusan itu antara lain untuk membaca lebih lanjut pertimbangan hakim.
Budhi mengatakan, pasal yang dipakai hakim untuk memutuskan pidana kepada terdakwa berbeda dengan pasal tuntutan penuntut umum. ”Namun, itu hampir sama dengan fakta hukum yang dimuat dalam analisis yuridis di surat tuntutan kami,” kata Budhi.
Kesepakatan tidak jujur
Dalam sidang pembacaan putusan tersebut, hakim menyebut, pertimbangan mereka memutuskan vonis terhadap terdakwa Idrus adalah karena adanya kesepakatan tidak jujur, yang diwarnai dengan pemberian uang.
Perkara yang didakwakan kepada Idrus merupakan pengembangan perkara yang melibatkan mantan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih, dan pemegang saham perusahaan Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.
Keduanya terbukti bekerja sama melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 atau PLTU Mulut Tambang Riau 1 (2 x 300 megwatt) di Provinsi Riau.
Sementara itu, terdakwa Idrus diketahui menerima suap dari Kotjo secara bertahap dengan total sebesar Rp 2,25 miliar. Uang suap tersebut diberikan kepada Idrus agar Kotjo dapat mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Mulut Tambang Riau 1.
Dalam surat dakwaan, Idrus, yang saat itu menjadi penanggung jawab Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar, juga disebut mengarahkan Eni untuk meminta uang sebesar Rp 2,5 juta dollar AS kepada Kotjo. Terdakwa juga meminta kepada Kotjo supaya membantu Eni guna keperluan suaminya yang mengikuti Pemilihan Kepala Daerah Temanggung, Jawa Tengah, tahun 2018.
”Dalam surat pembelaan penasihat hukum, terdakwa dikatakan selalu berusaha menolak permintaan Eni dengan mengatakan ’oke, oke’ agar pembicaraan cepat selesai. Terdakwa juga kerap menolak menemui Eni dengan alasan pergi ke daerah. Namun, majelis hakim menolak alasan itu. Pembelaan terdakwa harus dikesampingkan,’ kata Hakim Ad-hoc Anwar di sela pembacaan putusan.
Majelis hakim pun menyetujui tuntutan penuntut umum sebelumnya dengan beberapa pertimbangan, baik yang memberatkan maupun yang meringankan. Perbuatan terdakwa terbukti berlawanan dengan upaya pemerintah memberantas korupsi. Selain itu, terdakwa juga tidak mengakui perbuatannya.
’Adapun yang meringankan adalah terdakwa berperilaku sopan selama persidangan, terdakwa tidak menikmati hasil korupsi, dan tidak pernah dijatuhi hukuman pidana sebelumnya,” lanjut Anwar.
Sementara putusan hakim terhadap terdakwa Idrus masih dipertimbangkan, Eni dan Kotjo sudah menjalani hukuman pidana. Kotjo, selaku pemberi suap, dihukum 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. Hukumannya bahkan dinaikkan di tingkat banding menjadi 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 250 juta.
Kemudian, Eni dijatuhi vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan. Ia diyakini menerima suap Rp 4,75 miliar dari Kotjo. Ia juga diyakini jaksa menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura dari sejumlah pengusaha di bidang migas, serta dicabut hak politiknya dalam jabatan publik selama tiga tahun.