JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengkaji kembali program penyediaan hunian sewa bagi pekerja atau buruh pabrik di sekitar kawasan industri. Sebab, kedekatan lokasi tempat tinggal dengan tempat kerja akan membantu meringankan beban pekerja atau buruh.
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Khalawi Abdul Hamid, akhir pekan lalu, di Jakarta, mengatakan, konsep penyediaan hunian bagi pekerja atau buruh pernah dijalankan melalui program Percepatan Penyediaan Perumahan Umum bagi Pekerja atau Buruh (P3UP).
Salah satu hasilnya, rumah susun sewa (rusunawa) bagi pekerja di Ungaran, Kabupaten Semarang, yang pembangunannya pada 2015 menandai dimulainya Program Sejuta Rumah.
”Kami sedang membahas kembali dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perindustrian serta Kementerian Dalam Negeri untuk mengangkat kembali program P3UP ini,” kata Khalawi.
Khalawi menambahkan, penyediaan hunian sewa bagi pekerja atau buruh diperlukan karena kawasan industri terus berkembang. Ada pekerja yang datang dari sekitar lokasi pabrik, tetapi banyak juga yang datang dari daerah lain. Kebanyakan tinggal di kontrakan di sekitar kawasan industri.
Dengan hunian sewa, lanjut Khalawi, lingkungan pekerja diharapkan lebih tertata. Ketersediaan air bersih dan sanitasi juga lebih terjamin sehingga kesehatan pekerja lebih terjaga. Harga sewa lebih terjangkau karena dibangun pemerintah.
Konsep hunian sewa tidak dimaksudkan untuk mengurangi kekurangan ketersediaan rumah, tetapi mengurangi kekurangan hunian yang jumlahnya mencapai 7,6 juta unit. ”Ini tidak dimaksudkan untuk membunuh kontrakan atau kos-kosan karena pasti pekerja juga tidak akan tertampung semua,” ujarnya.
Menurut Khalawi, kunci dari konsep ini adalah ketersediaan lahan. Lahan bisa berasal dari kawasan industri atau lahan milik pemerintah daerah yang berada di sekitar kawasan industri. Lahan juga bisa disediakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan atau Badan Pengelola Tapera yang sudah mulai beroperasi.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan, biaya tempat tinggal menghabiskan 25 persen dari penghasilan pekerja atau buruh. Biaya tersebut menempati urutan kedua setelah kebutuhan makan dan minum.
”Jadi, bagaimana membantu meningkatkan daya beli pekerja, salah satunya dengan membantu hunian atau rumah tinggalnya,” kata Timboel.
Pemerintah perlu membantu
Berdasarkan kenyataan itu, lanjut Timboel, pemerintah perlu membantu meningkatkan kesejahteraan pekerja atau buruh dengan menyediakan hunian sewa berupa rusunawa dengan biaya sewa yang terjangkau. Dengan demikian, ketika beban pekerja berkurang, daya beli bisa naik. Di sisi lain, hal ini akan berpengaruh pada sistem pengupahan yang selama ini hanya dilihat dari sisi pengusaha.
Sebenarnya, lanjut Timboel, melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Persyaratan, dan Jenis Manfaat Layanan Tambahan dalam Program Jaminan Hari Tua menfasilitasi pekerja untuk mendapatkan rumah. Namun, dia menilai, pemanfaatannya belum besar. Timboel berharap, terbitnya Undang-Undang Tapera akan berdampak lebih besar bagi pekerja dalam penyediaan hunian.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Indonesia Mudhofir Khamid mengatakan, serikat pekerja menyadari kesejahteraan pekerja tidak hanya soal upah minimum. Sebab, di sisi lain, kenaikan upah minimum yang terlalu tinggi malah akan membuat pengusaha tidak mampu membayarnya.
Namun, kesejahteraan bagi pekerja dapat diciptakan melalui intervensi negara, seperti dengan menyediakan hunian sewa atau rumah susun sederhana sewa di dalam kawasan industri. Selain itu, penyediaan transportasi umum yang terjangkau juga membuat beban pekerja lebih ringan.
”Buruh itu sumbernya hanya upah, sementara pengeluaran banyak. Maka, pemerintah perlu hadir untuk mengurangi beban-beban itu seperti untuk pendidikan, lalu hunian, transportasi, dan kesehatan. Serikat buruh pun jangan hanya mau upah tinggi,” kata Mudhofir. (NAD)