Keterbatasan aksesibilitas membuat sejumlah warga di pelosok negeri belum menikmati listrik. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan pembangkit listrik sederhana yang memungkinkan dioperasikan oleh warga secara mandiri.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Keterbatasan aksesibilitas membuat sejumlah warga di pelosok negeri belum menikmati listrik. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan pembangkit listrik sederhana yang memungkinkan dioperasikan oleh warga secara mandiri.
Salah satu yang dikembangkan Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI adalah pembangkit listrik tenaga kinetik air Pico Hydro. Pembangkit ini dapat menghasilkan energi listrik dari debit air yang sangat kecil.
Dengan debit air 25-30 liter per detik, pembangkit Pico Hydro menghasilkan daya hingga 250 watt. Ukurannya sekitar 0,75 x 2 meter dengan bobot 17 kilogram sehingga cukup simpel untuk dibawa ke daerah terpencil.
“Jadi, sumber energi yang melimpah di sekitar masyarakat dapat dimanfaatkan menjadi listrik. Bentuknya sederhana sehingga bisa dibawa ke daerah pelosok,” ujar peneliti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI Anjar Susatyo di Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (22/4/2019).
Anjar mengatakan, pembangkit Pico Hydro tidak membutuhkan aliran air terlalu besar. Alhasil, turbin pembangkit tersebut lebih simpel dibandingkan kebanyakan jenis turbin lainnya.
“Dengan lebar penampang 60 sentimeter dan tinggi 5 cm sudah cukup untuk pembangkit Pico Hydro. Pengoperasiannya juga tidak rumit sehingga dapat dilakukan oleh warga,” ujarnya.
Menekan biaya
Bentuknya yang simpel membuat pembangkit ini tidak membutuhkan bangunan khusus yang besar sehingga dapat menekan biaya pembuatannya. Dana yang dibutuhkan di bawah Rp 10 juta.
LIPI juga mengembangkan konverter Smart Microgrid yang dapat mengkonversi sumber energi dari sinar matahari, angin, air, dan biogas untuk pemakaian listrik. “Kelebihan pasokan energi yang dihasilkan juga disimpan dalam baterai dan dapat digunakan pada saat beban puncak. Hal ini bisa menjadi solusi dalam kemudahan akses sumber energi terbarukan,” ujar Agus Risdiyanto, peneliti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI.
Penggunaan energi terbarukan sangat penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan bahan bakar fosil. Estimasi cadangan energi terbarukan yang dimiliki Indonesia mencapai 442 giga watt. Namun, hanya sekitar 2 persen yang telah dimanfaatkan.
Bentuknya yang simpel membuat pembangkit ini tidak membutuhkan bangunan khusus yang besar sehingga dapat menekan biaya pembuatannya. Dana yang dibutuhkan di bawah Rp 10 juta.
Ketergantungan Indonesia pada energi fosil minyak mencapai 37%, gas 21,2 persen, dan batu bara 33,4 persen. Padahal, pemerintah telah mencanangkan target 23 persen penggunaan energi terbarukan tercapai pada 2025.
“Untuk mendukung kebijakan itu, kami mengembangkan penggunaan energi terbarukan dan penelitian transportasi ramah lingkungan,” ujar Kepala Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI Budi Prawara.
Budi mengatakan, dalam pemanfaatan energi terbarukan, pihaknya fokus mengembangkan pembangkit skala kecil hingga 100 kilowatt. Pembuatannya juga berdasarkan aspek kemudahan penggunaan sehingga dapat menjangkau daerah terpencil.
“Melimpahnya sumber energi harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Warga juga diedukasi untuk mengoperasikan dan merawatnya,” ujarnya.
Penggunaan pembangkit energi terbarukan dalam skala besar perlu dukungan dari pemerintah. Salah satunya lewat kerja sama dengan pemerintah daerah dalam pengadaannya sehingga dapat digunakan untuk mengaliri listrik di daerah pelosok.