JAKARTA, KOMPAS – Jumlah narapidana yang melebihi daya tampung lembaga pemasyarakatan menjadi masalah serius yang perlu segera diselesaikan, salah satunya dengan percepatan revitalisasi lembaga pemasyarakatan. Mulai tahun ini, pembinaan narapidana akan diklasifikasikan mulai dari tingkat keamanan super maksimum (super maximum security) hingga keamanan minimum (minimum security).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly melalui sambutan yang dibacakan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Sri Puguh Budi Utami dalam "Rapat Kerja Teknis Pemasyarakatan Tahun 2019", di Jakarta, Senin (22/4/2019), mengatakan, selama ini, belum ada upaya serius untuk menyelesaikan kekurangan daya tampung narapidana. Padahal, pertumbuhan populasi narapidana terus meningkat sehingga kepadatan penghuni lembaga pemasyarakatan (LP) pun tak terhindarkan.
"Selama ini kita hanya fokus pada tataran bagaimana menampungnya, bukan bagaimana cara menyalurkannya. Sampai kapan pun, kalau kita masih berpikir untuk cara menampung, maka masalah kepadatan penghuni ini tak akan selesai," ujar Yasonna.
Sebagai catatan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, seharusnya LP di seluruh Indonesia hanya mampu menampung 127.000 narapidana. Realitanya, seluruh LP kini menampung 265.000 narapidana.
Oleh karena itu, Yasonna menyatakan, perlu ada upaya percepatan revitalisasi lapas untuk menyelesaikan masalah kelebihan kapasitas narapidana. Pembinaan lapas akan diklasifikasikan menjadi empat, yakni keamanan super maksimum (super maximum security), keamanan maksimum (maximum security), keamanan sedang (medium security), dan keamanan minimum (minimum security).
Hal itu sejalan dengan Peraturan Menkumham Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan yang diundangkan pada 18 Desember 2018.
"Jadi, kepadatan hunian bisa terdistribusi dan tidak pampat di satu tempat. Di sisi lain, kita juga akan lakukan percepatan-percepatan yang didasarkan pada perubahan perilaku sehingga kita tidak terpaku pada waktu (bebas narapidana)," kata Yasonna.
Namun, tidak semua LP akan diterapkan empat klasifikasi tersebut mulai tahun ini. Setidaknya, ada 138 LP yang akan dijadikan proyek percontohan terlebih dahulu.
"Kami mempertimbangkan jumlah dari penghuni setiap LP dan kemampuan teman-teman (kepala LP dan petugas LP) untuk bisa menerima apa yang harus mereka lakukan dalam percepatan revitalisasi," tambah Utami.
Antisipasi
Menurut Utami, klasifikasi bertujuan untuk mengantisipasi sejumlah masalah yang kerap terjadi di LP, seperti peredaran narkoba dan praktik jual-beli fasilitas. Sebab, selama ini, dia menilai, rentetan masalah di dalam LP bisa terjadi, salah satunya karena jumlah narapidana yang melebihi daya tampung.
"Karena selama ini (upaya revitalisasi LP) tidak jalan. Sejak 60 tahun yang lalu, semua (narapidana) dicampur aduk. Walaupun (narapidana) telah dilakukan pembinaan, tetapi masih campur dengan yang baru datang, mungkin juga dicampur dengan yang belum disentuh dengan pembinaan. Jadi, orang sudah baik, balik lagi ketemu itu," katanya.
Dengan demikian, Utami berharap, klasifikasi narapidana berdasarkan tingkat keamanan itu dapat semakin memudahkan pengawasan.
Misalnya saja, di tingkat keamanan medium harus diisi narapidana yang telah berperilaku produktif. Sementara itu, untuk pindah ke LP dengan tingkat keamanan minimum, narapidana tersebut harus bisa menghasilkan produk barang dan jasa.
Tak hanya itu, Ditjen Pemasyarakatan juga telah menyiapkan sistem yang berisi penilaian terhadap perkembangan narapidana yang terintegrasi dengan pusat untuk proses pengklasifikasian tersebut.
"Jadi, anak-anak (kepala LP dan petugas LP) tak bisa main-main lagi, tak bisa intervensi atau pura-pura baik. Tiap hari, semua perkembangan narapidana akan terdata sampai ke pusat," tutur Utami.
Holistik
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Ade Maman Suherman, menuturkan, masalah kelebihan penghuni memang harus segera diselesaikan secara serius dan holistik oleh Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham. Selain lewat program revitalisasi, perlu ada perbaikan pula dalam sarana dan prasarana LP.
Tak hanya itu, menurut Ade, permasalahan utama yang tak kunjung usai adalah integritas dari kepala dan petugas LP. Sebab, mereka adalah benteng awal terciptanya reformasi di bidang pemasyarakatan.
"Upaya percepatan revitalisasi ini tentu harus dibarengi dengan integritas dan kompetensi atau kapabilitas dari kepala dan petugas LP. Orang pintar punya kapabilitas tetapi integritas kurang, tidak bagus, begitu pula sebaliknya. Harus ada evaluasi rutin yang menyeluruh untuk bisa menjaga komitmen itu," tutur Ade.