JAKARTA, KOMPAS — Kapal-kapal rawai tuna atau longline mulai ditinggalkan. Regulasi yang dinilai memberatkan membuat usaha penangkapan tuna beralih ke komoditas lain, seperti cumi.
Ketua II Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus mengemukakan, 573 kapal terdaftar di ATLI. Namun, dari jumlah itu, kapal rawai tuna menyusut, yakni dari 278 unit pada 2017 menjadi tinggal 248 unit pada 2018. Sebagian telah beralih ke kapal cumi, yakni dari 236 unit pada 2017 menjadi 240 unit pada 2018.
”Sebagian kapal tuna berhenti beroperasi atau beralih ke kapal penangkap cumi. Kapal tuna dengan daerah tangkapan yang jauh sulit berkembang jika tidak ditopang kapal penyangga. Sementara izin kapal penyangga sulit,” ujarnya, Minggu (21/4/2019), di Jakarta.
Operasionalisasi kapal rawai tuna yang menjangkau wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan laut lepas memakan waktu berbulan-bulan dan membutuhkan biaya besar. Hasil tangkapan diprioritaskan untuk komoditas premium tujuan ekspor, seperti tuna segar. Negara tujuan ekspor antara lain Jepang dan Amerika Serikat.
Kriteria kapal penyangga antara lain kapal buatan dalam negeri, tidak sedang melanggar hukum yang berlaku, berukuran dari 30 gros ton sampai 200 gros ton, mengantongi surat izin kapal pengangkut ikan yang berlaku, menerima petugas pengamat di atas kapal, dan menerima buku catatan penangkapan ikan. Selain itu, wajib mengaktifkan sistem monitoring kapal (VMS) dan kamera pemantau di kapal.
Dwi Agus menyayangkan perizinan kapal berukuran di atas 30 gros ton yang dinilai sulit dan perizinan kapal yang tumpang tindih karena melibatkan dua kementerian, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perhubungan.
Ia mencontohkan, kapal ikan di Pelabuhan Umum Benoa, Bali, wajib mengantongi surat layak operasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dan surat perizinan berlayar dari Kementerian Perhubungan. Perizinan kapal yang sulit itu mendorong sebagian pelaku usaha berniat masuk ke usaha kapal-kapal nelayan kecil. Kondisi itu dikhawatirkan memicu konflik karena bersinggungan dengan wilayah tangkapan nelayan kecil.
”Saatnya pemerintah memberikan kemudahan dalam izin kapal angkut (penyangga) dan kapal penangkapan ikan. Apabila pemerintah ragu dan curiga ikan dilarikan ke luar negeri, ukuran kapal bisa dibatasi,” ujarnya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara Rendra Purdiansa mengemukakan, pemerintah perlu mendorong penangkapan ikan di laut lepas yang berkontribusi menyumbang devisa, mencukupi kebutuhan bahan baku industri pengolahan, dan menyerap tenaga kerja. Kapal-kapal berukuran besar perlu didukung untuk berkembang.
Pembatasan ukuran kapal penangkapan ikan maksimal 150 gros ton dinilai tidak efisien untuk menangkap di laut lepas.
Ia menambahkan, Indonesia saat ini tercatat dalam keanggotaan tiga organisasi internasional di bawah Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO) terkait dengan pengaturan penangkapan tuna di laut lepas. Organisasi itu adalah Komisi Tuna Samudra Hindia (IOTC), Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat (WCPFC), serta Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT). Sangat disayangkan jika Indonesia kurang berdaya saing dan tidak bisa memanfaatkan kuota penangkapan ikan yang ditetapkan organisasi internasional itu akibat keterbatasan jumlah kapal ikan berukuran besar.
”Dengan program poros maritim, saatnya industri perikanan Indonesia bersaing di kancah global,” kata Rendra. (LKT)