Pegiat lingkungan hidup, Brantas River Coalition To Stop Imported Plastic, berunjuk rasa di depan gedung ESA Sampoerna Center tempat Konsulat Jenderal Australia di Surabaya, Jawa Timur, Senin (22/4/2019). Dalam rangka memeringati Hari Bumi, mereka untuk mendesak pengetatan aturan tentang sampah kertas bekas.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pegiat lingkungan hidup, Brantas River Coalition To Stop Imported Plastic, berunjuk rasa di depan gedung ESA Sampoerna Center, tempat Konsulat Jenderal Australia di Surabaya, Jawa Timur, Senin (22/4/2019). Bertepatan dengan peringatan Hari Bumi, mereka mendesak pengetatan aturan tentang sampah kertas bekas.
Mereka menuduh sejumlah negara mengekspor sampah kertas bekas ke Indonesia yang turut menyertakan secara ilegal sampah plastik berupa serpihan popok, kemasan makanan-minuman, kantong keresek, sepatu, dan lain-lain.
Serpihan itu mengandung mikroplastik, plastik yang terkena proses pelapukan fisik, kimia, dan biologis berukuran kurang dari 5 milimeter. Hal itu membuat mikroplastik dapat termakan dan tecerna hewan air. Jika dikonsumsi manusia, partikel mikroplastik itu berpotensi menimbulkan masalah kesehatan.
Koordinator Brantas River Coalition to Stop Imported Plastic (BRACSIP) Prigi Arisandi mengatakan, mikroplastik disumbang perusahaan kertas yang memakai bahan baku kertas daur ulang asal 20 negara. Di Indonesia, terdapat 55 perusahaan kertas yang 22 unit di antaranya ada di Jatim dan separuhnya beroperasi di sepanjang aliran Sungai Brantas.
Penelitian tim BRACSIP pada tahun lalu menyebutkan, limbah dari salah satu pabrik kertas di Jatim ternyata mengandung sampai 3.800 partikel mikroplastik per liter. Sebanyak 11 pabrik kertas di sepanjang aliran Sungai Brantas memakai bahan baku kertas bekas impor yang bercampur dengan sampah rumah tangga jenis plastik. Bahkan, kandungan sampah plastik di dalam sampah kertas bekas itu ditengarai 30 persen di atas kewajaran.
Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dengan tegas menyatakan, Indonesia tidak boleh mengimpor sampah plastik rumah tangga. Demikian juga tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan 31/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Nonbahan Berbahaya dan Beracun.
”Akan tetapi, dari penelitian kami, sampah kertas bekas masih mengandung sampah plastik rumah tangga berupa serpihan dari kemasan sampo, pasta gigi, kemasan sabun, popok, botol, kemasan makanan-minuman, dan banyak lagi,” ujar Prigi.
Di hilir Sungai Brantas terdapat lima instalasi perusahaan daerah air minum (PDAM), yakni di Mojokerto, Sidoarjo, Gresik, dan Surabaya, dengan cakupan 5 juta pelanggan. Mikroplastik telah mencemari air Sungai Brantas yang menjadi bahan baku air untuk PDAM yang kemudian disalurkan ke publik.
Manajer Riset Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Daru Setyorini menilai, pembuangan sampah domestik dari negara-negara kaya sungguh tidak adil dan melecehkan martabat Indonesia. Selama ini, Indonesia ”didakwa” sebagai negara penyumbang sampah terbesar di Asia Tenggara, bahkan nomor dua di dunia. Sistem pengolahan sampah di Indonesia memang masih buruk. Namun, negara-negara yang ”beradab” dalam tata kelola sampah ternyata membuang kotorannya ke Indonesia.
”Negara-negara pengekspor sampah plastik ke Indonesia harus menarik kembali buangannya dan melaksanakan pemulihan lingkungan,” ujar Daru. Pemerintah Indonesia dituntut tegas dan keras menutup impor sampah yang ternyata bercampur sampah plastik.