Bersama Melawan, Tuberkulosis Bukan Kutukan
Nurma (37) pernah merasa hidupnya tak bakal berguna lagi. Nyawanya divonis bakal pendek akibat tuberculosis (TB), tak lebih dari tiga bulan. Sembilan tahun lalu, dia di ujung mati.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F04%2F20190422AIN_RIZAYANA_Sosok-Peduli-TB-2_1555932068.jpg)
Para sukarelawan Komunitas Peduli Tuberkulosis dan Kusta (KPTK) Desa Teupin Raya, Kecamatan Nurussalam, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh.
Nurma (37) pernah merasa hidupnya tak bakal berguna lagi. Nyawanya divonis bakal pendek akibat tuberkulosis (TB), yakni tak lebih dari tiga bulan. Sembilan tahun lalu, dia di ujung mati.
Meski berat, warga Desa Teupin Pukat, Kecamatan Nurussalam, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, itu mencoba merelakannya. Toh, bertahan hidup lebih lama pun dia tak merasakan banyak cinta dari tetangganya. Minim referensi, Nurma dianggap kena penyakit kutukan. Beruntung masih ada secuil harapan dari komunitas peduli TB yang ingin berjuang merubah paradigma, dari benci jadi empati.
Kisah kelam itu bermula saat batuk kronis mulai datang tahun 2009. Dari awalnya hanya dahak, batuk berdarahnya begitu menyiksa. Tubuhnya lemas karena nafsu makannya hilang. Berat badannya turun drastis. Sebab, nafsu makan berkurang dan sering muntah.
Setahun pertama, dia masih sanggup berjalan dan duduk meski dengan susah payah. Namun, tubuhnya menyerah di tahun kedua. Batuknya semakin parah. Semangat Nurma ambruk. Akibatnya, dia hanya terbaring lemah tak berdaya di tempat tidur.
Ironisnya, dua tahun didera batuk tak berkesudahan, Nurma tidak tahu penyakit apa yang merenggut hidupnya. Teupin Pukat berjarak 350 kilometer dari Banda Aceh. Tak banyak informasi mengenai penyakit yang dideritanya.
Dia dan keluarganya mencoba mencari jawaban dari dokter spesialis paru. Namun, bukan solusi, ia justru diberitahu bakal mati. Dalam tiga bulan ke depan, ia diprediksi harus berpisah dengan semua kenangan indah dan keluarga terdekatnya.
”Saat itu, saya terima dengan ikhlas vonis dokter. Mungkin ajal saya memang sudah tiba,” ujar Nurma, Sabtu (20/4/2019).
Akan tetapi, keluarganya tak ingin menerima nasib begitu saja. Saat medis tak ampuh, giliran dukun bertindak. Lagi-lagi, hasilnya jauh dari panggang.
Vonisnya tak kalah mengerikan. Nurma dan keluarganya dianggap kena kutukan. Nurma semakin jauh dalam duka. Kondisi tubuh dan psikologisnya hancur. Seekor ayam berbulu putih harus mati sia-sia saat dijadikan tumbal oleh sang dukun.
Saat semuanya tak karuan lagi, harapan muncul lewat Rizayana (31), kader kesehatan desa sekaligus pengurus Komunitas Peduli TB dan Kusta (KPTK) Desa Teupin Raya. Dari gejala yang dialami, dia menduga Nurma menderita TB.
Rizayana adalah anomali. Saat banyak orang menjauhi Nurma dan keluarga, Rizayana datang mendekat. Dia bahkan mengambil dahak Nurma dan membawanya ke puskesmas.
Setelah diuji di laboratorium, dugaan Rizayana benar. Nurma positif mengidap TB, pemburu yang piawai merenggut nyawa manusia. Dari bukti laboratorium itu, Rizayana memberanikan diri mendampingi Nurma berobat sampai sembuh.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F04%2FIMG_0459_1555937227.jpg)
Para sukarelawan Komunitas Peduli Tuberkulosis dan Kusta (KPTK) Desa Teupin Raya, Kecamatan Nurussalam, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh.
Pengobatan ketat
TB adalah penyakit menular akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penularannya lewat udara atau percikan dahak penderita. Saat batuk, bersin, berbicara, atau meludah, pasien TB memercikkan kuman ke udara. Seseorang yang terdiagnosis TB berstatus TB basil tahan asam (BTA) positif bisa menularkan kepada 10-15 orang per tahun.
Di Aceh, jumlah penderita TB terbilang tinggi. Data Dinas Kesehatan Aceh tentang profil kesehatan Aceh menyebutkan, penderita TB pada 2014 sebanyak 5.189 orang. Faktor-faktor yang memicunya, seperti daya tahan tubuh lemah, sanitasi, dan tidak mendapatkan imunisasi saat balita. Cakupan imunisasi di Provinsi Aceh sejak 2013 hingga 2017 masih rendah, yakni di bawah 80 persen atau masih di bawah rata-rata nasional.
Prevalensi penderita terjadi kenaikan dari 84 orang menjadi 106 orang per 100.000 penduduk. Merujuk laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), besar kemungkinan bakal ada warga Aceh menjadi bagian dari 842.000 orang terkena TB di Indonesia pada tahun 2018. Data WHO tahun 2017 mencatat, Indonesia menempati posisi ketiga terbanyak kasus TB di dunia setelah India dan China.
Saat semuanya terjadi, Rizayana mengatakan, hanya pengobatan sampai tuntas yang jadi kunci melawan infeksi TB. Tanpa pengobatan yang disiplin, TB mudah menyerang tubuh semakin ganas dan menyebabkan kematian.
”Pengobatan untuk penderita tuberkolusis harus minum obat secara rutin selama enam bulan. Satu kali saja tidak minum obat, pengobatan harus dimulai dari awal. Obat TB disediakan gratis di setiap puskesmas,” kata Rizayana.
Baca Juga : Obat Gratis Saja Tidak Cukup, Pasien TB Harus Dipastikan Minum Obat Sampai Tuntas
Meski demikian, minimnya pemahaman masyarakat membuat TB masih leluasa memakan korban. Dianggap sebagai penyakit memalukan dan terkutuk, TB membuat warga menutup rapat pintu rumahnya jika ada keluarganya yang tertular. Sikap itu berakibat fatal karena kematian bisa datang kapan saja.
Kehadiran Rizayana dan komunitasnya menjadi titik-titik terang dari kegelapan yang disebarkan TB di Aceh. Komunitas itu dibentuk atas inisiasi para kader kesehatan desa yang dilatih Pemkab Aceh Timur tahun 2008. Sejak awal, mereka terbentuk untuk mengampanyekan cara hidup sehat.
Dalam perjalanannya, para kader terbiasa menemukan penderita TB. Pada 2010, mereka lantas sepakat membentuk komunitas aktivitas penanggulangan penyakit menular itu lebih serius. Di awal pembentukannya, lembaga ini didampingi Yayasan Sheep Indonesia wilayah Aceh.
Ketua KPTK Teupin Raya Nurjannah (37) mengatakan, saat ini KPTK memiliki anggota 22 orang yang tersebar di empat desa. ”Kami ingin komunitas ini juga terbentuk di kecamatan lain di Aceh Timur. Semakin banyak yang terlibat semakin baik,” kata Nurjannah.
Kami ingin komunitas ini juga terbentuk di kecamatan lain di Aceh Timur. Semakin banyak yang terlibat semakin baik.
Menurut Nurjannah, kini TB menyerang kelompok usia muda dan anak-anak. Bahkan ada kasus, dalam satu keluarga empat orang terjangkit karena mereka tidak tahu cara menangani, namun setelah kami damping semua sembuh,” kata Nurjannah.
Sekarang, setia mendampingi masyarakat selama sembilan tahun terakhir, KPTK Teupin Raya telah mendampingi 42 penderita TB. Sebanyak 39 orang di antaranya sembuh, 2 orang meninggal, dan seorang masih dalam proses pengobatan. Mereka, KPTK, adalah ujung tombak melawan TB di Aceh.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F04%2FDSC_4773-01_1555937323.jpg)
Istri Plt Gubernur Aceh, Dyah Erti Idawati, memberikan semangat untuk anak penderita TB yang sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin Banda Aceh.
Kepala Dinas Kesehatan Aceh Hanif menuturkan, keberadaan komunitas warga peduli TB membantu kerja-kerja pemerintah. Namun, pemerintah melalui puskesmas terus bekerja menanggulangi dengan cara pencegahan dan pengobatan.
”Setiap puskesmas ada satu tenaga medis yang dilatih menangani TB. Pengobatannya gratis, yang penting warga rajin-rajin melakukan pemeriksaan diri ke puskesmas,” ujar Hanif.
Baca Juga : Riset Tuberkulosis agar Terus Dikembangkan
Setia
Nurma sudah merengkuh hasilnya. Sikap disiplinnya berbuah hasil. Bersama Rizayana dan KPTK, dia menemukan terang dari semua kegelapannya akibat TB meski perjalanannya tidak mudah.
Nurma membutuhkan proses penyembuhan hingga tiga tahun, medio 2010 sampai 2013. Sejumlah tantangan muncul. Pengobatan pertamanya pernah gagal karena dia berhenti minum obat. Namun, Nurma tak ingin menyerah pada maut. Meski harus memulainya lebih sulit dan keras, dia justru berhasil di masa pengobatan selanjutnya.
”Alhamdulillah, saat ini Nurma sudah sembuh dan bisa bekerja di kebun lagi. Nurma memiliki semangat yang kuat untuk sembuh,” ujar Riza.
Meski demikian, Rizayana mengatakan, kebahagiaannya bukan hanya melihat Nurma kembali berativitas seperti biasa. Kesembuhan Nurma menekan stigma menghapus mitos. Penyakit yang dulu dianggap kutukan ternyata bisa disembuhkan.
Baca Juga : Beban Sosial Pasien Tuberkulosis Sering Terlupakan
Kini warga dengan antusias melaporkan ke pengurus komunitas saat merasa ada gejala TB. Warga desa kini semakin aktif bergerak. Mereka juga mengikis stigma lewat alokasi dana desa. Pada 2018, KPTK mendapat anggaran Rp 1,8 juta bersumber dari dana desa diperuntukkan bagi pemberian makanan tambahan untuk pasien TB. Untuk tahun 2019, penyediaan dana desa itu masih dibahas lebih lanjut. Namun, hal itu tidak bakal menyurutkan para relawan untuk terus berjuang.
”Kami tidak digaji sepersen pun, ini murni kerja sosial. Jika ditanya mengapa mau? Saya sulit menjawab, tapi ada kebahagian bekerja untuk orang,” kata Rizayana tersenyum.
Pengalaman hidup Nurma dan kearifan sukarelawan membuktikan terserang TB bukan akhir segalanya. Selalu ada harapan bagi yang mau berusaha. Namun, dukungan dari orang sekitarnya menjadi energi penting untuk terus hidup.
Kami tidak digaji sepersen pun, ini murni kerja sosial. Jika ditanya mengapa mau? Saya sulit menjawab, namun ada kebahagian bekerja untuk orang.