JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan tenaga pencatat serta pengidentifikasi hiu dan jenis hiu pada tempat ataupun pangkalan pendaratan ikan menjadi tantangan pada penerapan kuota tangkap ikan hiu lanjaman jenis Carcharhinus falciformis sebanyak 80.000 ekor tahun ini.
Kementerian Kelautan dan Perikanan agar menentukan pelabuhan-pelabuhan khusus untuk menjadi fokus ataupun proyek percontohan sehingga penerapan kuota bisa terukur dan memastikan populasi hiu jenis ini aman di alam.
Indonesia saat ini memiliki beberapa pangkalan pendaratan ikan yang dikenal sebagai lokasi penangkapan hiu. Lokasi itu berada di Tanjung Luar, Nusa Tenggara Barat, dan Muncar di Banyuwangi, Jawa Timur, serta beberapa daerah lain, seperti Indramayu dan Cilacap.
Dwi Ariyogagautama, By-catch and Sharks Conservation Coordinator WWF Indonesia, Rabu (17/4/2019), di Jakarta, mengatakan, kuota penangkapan 80.000 ikan hiu lanjaman C falciformis (silky shark) ini bukan hanya untuk perdagangan ekspor, tetapi juga domestik. Karena itu, saringan pertama yang harus benar-benar kuat ada pada petugas perikanan di tempat pelelangan ikan dan pangkalan pendaratan ikan, sesuai kewenangan dari tingkat pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, serta Kementerian Kelautan dan perikanan (KKP).
Saringan pertama yang harus benar-benar kuat ada pada petugas perikanan di tempat pelelangan ikan dan pangkalan pendaratan ikan.
Oleh karena itu, ia mendorong agar KKP menentukan pelabuhan khusus pendaratan hiu di tiap provinsi ataupun sekelas pelabuhan besar. ”Di luar itu sebaiknya dibuat (sebagai tangkapan) ilegal dulu,” katanya.
Hal tersebut untuk memudahkan otorita yang berwenang untuk mencatat, memantau, dan memverifikasi berada di lokasi pendaratan ikan tersebut. Dengan demikian, aspek ketelusuran produk bisa terjamin dan mengontrol penangkapan hiu sampingan/tak sengaja (by catch).
Seperti diberitakan Kompas (16 April 2019), LIPI merekomendasikan penangkapan hiu lanjaman C falciformis sebanyak maksimal 80.000 ekor dengan ukuran panjang lebih dari 2 meter dan berat lebih dari 50 kilogram di seluruh perairan Indonesia. Hal ini menindaklanjuti masuknya C falciformis dalam Appendix 2 Konvensi Internasional terkait Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar yang Rentan Punah (CITES) sejak 2016 dan mulai berlaku pada 2017.
Standar kompetensi
Pengawasan menjadi kendala pemerintah sebagai otorita pengelola (management authority) karena hiu acap kali didaratkan hanya berupa bagian tubuhnya, terutama sirip dan ekor. Hiu C falciformis merupakan hiu yang mendominasi tangkapan serta memiliki kemiripan (look alike species) morfologi tubuh dengan hiu lanjaman lain.
Dengan kondisi ini, dibutuhkan petugas terlatih di lapangan untuk menentukan jenis hiu dan ukuran hiu yang tertangkap. ”Agar dipastikan UPT memiliki verifikator yang terstandardisasi. Kami mendorong ada standar kompetensi untuk hal ini, terutama pada bentuk olahan hiu yang sulit diidentifikasi,” ujarnya.
Kewenangan UPT untuk memverifikasi ini diberikan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 61/2018 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi dan/atau Jenis Ikan yang Tercantum dalam Apendiks CITES.
Meski KKP telah menerbitkan Permen KKP No 61/2018, CITES masih mencatat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai management authority. Karena itu, Dwi Ariyogagautama mengharapkan proses delegasi sebagai otorita pengelola ini dijalankan secara tertulis antara KKP dan KLHK, terutama untuk spesies satwa akuatik CITES.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Andi Rusandi menyebutkan hingga kini masih berkoordinasi dengan KKP terkait pengaturan atau mekanisme dalam pengelolaan perdagangan satwa yang masuk CITES.
”Ke depan, akan coba mengharmoniskan antara kami dan KLHK. Akan kendalikan sehingga tidak over-eksploitatif,” ucapnya.
Ia mengakui, sejumlah pekerjaan rumah masih menanti agar penerapan kuota nantinya ditaati untuk menjamin kelestarian hiu. Ia pun mengatakan, KLHK memiliki banyak pengalaman terkait pengelolaan spesies yang bisa menjadi contoh untuk ditiru.