ODGJ Juga Berhak Rayakan Pesta Demokrasi
Semarak Pemilihan Umum 2019 yang dilaksanakan serentak, bergaung dari sejumlah panti rehabilitasi mental. Keceriaan memancar dari orang-orang dengan gangguan jiwa serta para pengurus panti. Tidak hanya karena bisa menggunakan hak suara, tetapi juga bergembira menyambut keadilan dan kesetaraan untuk seluruh warga negara.
Sofiyan (35) tampak semringah seusai menggunakan hak suaranya di TPS 223, Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 1, Cengkareng, Jakarta Barat. Sambil menunjukan tinta yang menempel di telunjuknya, ia berucap agar dilimpahkan banyak rezeki setelah pemungutan suara kali ini.
Awalnya, ketika di bilik suara, Sofiyan kebingungan saat membaca surat suara yang ia peroleh. Butuh waktu sekitar 5 menit hingga akhirnya ia bisa memutuskan pilihan. Namun, ia tampak tenang selama proses pencoblosan.
"Saya ini asalnya dari Grogol, tidak pernah ikut-ikutan acara semacam ini sebelumnya," ujar Sofiyan, penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), Rabu (17/04/2019).
Sebanyak 489 ODGJ di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 1, Jakarta Barat, ikut serta dalam Pemilu 2019. Sambil mengemut permen yang dibagikan petugas, para ODGJ tampak antusias dan tertib saat menunggu giliran menyoblos surat suara.
"Ayo, surat suaranya dilipat yang rapi ya. Itu yang belum mencelupkan jari ke tinta, jangan keluar dulu dari TPS," ujar salah satu petugas Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara (KPPS) melalui pengeras suara di TPS tersebut.
Belum Semua Terdata
Meskipun pemilu disambut penuh semangat, tetapi tak semua penghuni panti ini juga bisa menggunakan hak suaranya. Kepala Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 1, Maria Margaretha mengatakan, hanya separuh penghuni panti yang dapat mengikuti pemilu, yakni penghuni yang telah memiliki KTP-el dan ada di Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Ada 834 ODGJ di panti ini, namun hanya 489 orang yang berhak untuk mengikuti pemilu. Mereka yang berhak mengikuti pemilu ini sudah stabil dari sisi emosinya dan minimal bisa mengenali namanya sendiri," ucapnya.
Sebagian besar ODGJ yang mengikuti pemilihan suara di panti ini memang kesulitan dalam membuka dan melipat kertas suara. Ada pula yang lupa mencelupkan jari ke tinta usai melakukan pencoblosan, sehingga mereka perlu diarahkan oleh petugas KPPS.
"Surat suaranya banyak, saya bingung mau pilih yang mana. Tapi saya senang karena sudah bisa memilih," ujar Subli (54), salah satu ODGJ.
Suasana serupa juga dijumpai di Yayasan Galuh, Kota Bekasi. Sebelum pukul 10.00, lebih dari 10 ODGJ berseragam kaos kuning sudah duduk membentuk barisan rapi di aula yayasan. Mereka menunggu kedatangan anggota KPPS dijadwalkan datang pada jam itu untuk membantu mereka menggunakan hak suara.
Rina (27), perempuan warga Yayasan Galuh ini mengatakan, bersemangat menunggu kedatangan anggota KPPS. Sebab, ia belum mengetahui teknis pencoblosan yang sesuai ketentuan.
“Saya tahu ada dua calon presiden, nomor 01 Jokowi sedangkan nomor 02 Prabowo,” kata Rina (27), yang sudah lebih dari 6 bulan menjalani rehabilitasi di Yayasan Galuh ini.
Kurang Diperhatikan
Namun, keinginan Rina tak segera terwujud karena anggota KPPS tak kunjung datang. Selama sekitar dua jam, ia dan ODGJ lainnya pun menghabiskan waktu dengan berbagai aktivitas. Mulai dari kembali ke kamar, mengobrol dengan pengurus panti, hingga makan bersama karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.00.
Meski sudah menunggu lama, antusiasme warga Yayasan Galuh tidak berkurang. Saat lima petugas KPPS datang sekitar 30 menit seusai makan siang, mereka pun kembali ke aula, duduk membentuk barisan yang rapi.
Pandangan mereka lurus ke depan, menatap yakin seluruh petugas KPPS yang ada di meja panjang di hadapan mereka. Namun, tidak ada penjelasan yang disampaikan, sejumlah petugas itu justru langsung memanggil nama mereka satu per satu. Panggilan itu kemudian dilanjutkan oleh Jajat Sudrajat, pengurus Yayasan Galuh.
Pardi (29), ODGJ yang mendapatkan panggilan pertama segera maju menghampiri meja anggota KPPS. Ia kebingungan harus melakukan apa, karena alat-alat yang dibutuhkan untuk pencoblosan surat suara belum disiapkan. Di hadapannya, baru ada surat suara, tanpa paku, bilik, maupun kotak suara.
Oleh karena itu, pengurus yayasan segera mengambil peralatan sederhana untuk menggantikannya. Obeng untuk mencoblos, kardus coklat untuk bilik suara, dan beberapa plastik transparan sebagai pengganti kotak suara. Selain itu, tinta penanda jari juga diganti dengan tinta yang biasa digunakan untuk stempel.
Di tengah keterbatasan tersebut, Pardi tetap melaksanakan pencoblosan secara tenang. Ia mendengarkan instruksi Jajat yang berbicara dalam jarak dua meter darinya. “Ya, kamu buka kertasnya, coblos pilihannya. Ikuti garis lipatan yang sudah ada untuk melipatnya,” ujar Jajat.
“Sebelum ini belum ada latihan mencoblos, baru tahu dari Pak Hero dan Pak Jajat saja barusan,” kata Pardi.
Jajat mengatakan, sosialisasi mengenai tata cara mengikuti Pemilu memang tidak diberikan. Sebelumnya, pihak yayasan hanya berinisiatif memperkenalkan sosok calon presiden dan wakil presiden, serta partai politik yang bisa dipilih. Menurut dia, pengetahuan mengenai itu semua pun sudah dimiliki para ODGJ, karena pada dasarnya memori mereka sebelum mengalami gangguan jiwa tidak pernah hilang.
Ia menambahkan hingga sebulan menjelang pemilu, pihaknya tak memperoleh kabar jumlah warga yang ditetapkan sebagai pemilih. Baru sepekan sebelum Pemilu, pihaknya memperoleh 72 eksemplar Formulir A5, surat keterangan pindah tempat memilih. Formulir itu diberikan KPU Kota Bekasi. Padahal, di Yayasan Galuh ada lebih dari 400 ODGJ.
Saat pencoblosan dilaksanakan, tak semua warga Yayasan Galuh yang mengantongi Formulir A5 pun bisa menggunakan hak suaranya. Sampai pukul 14.00, hanya 16 orang yang mencoblos. Sebagian memang tidak ada di tempat pemungutan suara, tetapi 8 orang yang sudah menunggu tidak dilayani oleh petugas KPPS.
“Mereka (petugas KPPS) beralasan waktunya sudah habis,” kata Jajat.
Penuh Tantangan
Meskipun ditemukan masih banyak penghuni panti ODGJ belum terlayani, penyelenggaraan pemilu di panti rehabilitasi mental memiliki tantangan tersendiri bagi para penyelenggara. Sebab, pemungutan suara di tempat rehabilitasi ODGJ baru pertama kali ini dilakukan.
"Kami harus tetap sabar dan menjaga integritas selama membimbing mereka. Kami tidak boleh mengarahkan mereka, apalagi menyuruh mereka mencoblos salah satu calon, karena mereka punya hak untuk memilih," ucap Junaedi, petugas KPPS di TPS 221, Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 1.
Yeni Rosa Damayanti, Ketua Umum Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJSI), mengapresiasi penyelenggaraan Pemilu yang sudah merambah ke sejumlah panti. Apalagi, Pemilu 2019 juga merupakan pertama kalinya ODGJ bisa mengikuti Pemilu tanpa harus membawa surat rekomendasi dari dokter jiwa.
Namun, ke depan masih perlu ada pembenahan khususnya dari sisi penyelenggara. “Belum semua KPUD memiliki keberpihakan pada orang dengan disabilitas mental,” ujar dia.
Selain itu, pendidikan mengenai pemilu kepada ODGJ juga perlu diintensifkan. Pendidikan terkait semestinya dilaksanakan sejak jauh-jauh hari, diberikan kepada ODGJ dalam kelompok kecil agar pemahaman mereka lebih mendalam.
Hak konstitusional
Ketua KPU DKI Jakarta Bety Epsilon Idroos mengatakan, di Jakarta ada 3.584 ODGJ terdaftar di DPT. Pada pemilu kali ini, TPS disediakan di sejumlah panti sosial seperti daerah Cengkareng, Jakarta Barat dan Cipayung, Jakarta Timur.
"Untuk di rumah sakit jiwa, kami menyediakan TPS di sekitar RSJ, sehingga para ODGJ ikut memilih bersama masyarakat lain, selama ia memiliki KTP, NIK, dan formulir C6 (pemberitahuan masuk dalam DPT). Selain itu, ada beberapa ODGJ yang ada di RSJ perlu mendapat surat rekomendasi dari dokter agar bisa memilih," katanya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, tidak boleh ada stigma negatif terhadap pemilih yang mengalami disabilitas mental. Sebab, hak mereka telah diatur oleh konstitusi, di antaranya Undang-Undang Nomo 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvesi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
"Selain itu, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan No. 135/PUU-XIII/2015 yang berisi bahwa tidak boleh ada pelarangan terhadap disabilitas mental dalam mengikuti pemilihan umum, karena segala bentuk pelarangan ini bertentangan dengan UUD 1945," ujarnya.
Dr Eka Viora, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, menjelaskan, memberikan hak pilih kepada ODGJ merupakan bagian penting dalam upaya mengurangi stigma. Selain itu juga bisa mendorong rehabilitasi dan integrasi mereka agar dapat diterima aktif kembali dalam kehidupan bermasyarakat.
“Gangguan jiwa bukanlah ketidakmampuan. Penetapan kapasitas ODGJ untuk menggunakan hak pilihnya tidak didasarkan pada diagnosis maupun gejalanya, tetapi pada kapasitasnya untuk memahami tujuan pemilu, alasan berpartisipasi, dan pemilihan calon,” kata Eka.
“Pertimbangan mendalam terutama dikaitkan dengan fungsi kognitif, mengendalikan agresivitas, dan berperilaku sesuai norma yang berlaku di masyarakat,” imbuhnya.
Menurut Eka, ODGJ tidak memerlukan surat keterangan sehat jiwa untuk memilih. “Apabila mereka membutuhkan surat keterangan sehat jiwa untuk menggunakan hak suara, maka ada konsekuensi bahwa semua calon pemilih dikenakan aturan yang sama,” ujar dia.
Meski memiliki keterbatasan mental, keberadaan ODGJ tidak bisa disepelekan karena suara mereka turut menentukan nasib bangsa. Pemilu 2019 pun menjadi ajang bagi para ODGJ untuk melawan stigma tentang keberadaan mereka yang seolah tidak dianggap penting di negara ini.