Negara-negara Teluk dan Eropa Terbelah Menyikapi Konflik Libya
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
REUTERS/ESAM OMRAN AL-FETORI
Anggota Pasukan Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar bersiap pergi dari Benghazi untuk memperkuat rekannya yang bertempur merebut Tripoli, Sabtu (13/4/2019).
TRIPOLI, SELASA — Sikap sejumlah negara di kawasan Teluk dan Eropa terbelah dalam konflik di Libya. Ada yang mendukung pemerintah kesepakatan nasional (GNA) Libya, tetapi ada juga yang mendukung Pasukan Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar.
Salah satu negara Teluk, Qatar, menyerukan blokade pengiriman senjata kepada pasukan pimpinan Haftar di Libya timur yang berupaya menguasai ibu kota Tripoli. Embargo senjata oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Libya harus benar-benar ditegakkan untuk mencegah Haftar mendapatkan pasokan senjata.
Selama ini, Haftar menikmati dukungan dari Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Tiga negara itu memandang jenderal veteran berusia 75 tahun itu sebagai kekuatan untuk memulihkan stabilitas dan memerangi kelompok militan.
Selain itu, ketiga negara tersebut justru menuduh Qatar mendukung kelompok militan dan Iran sehingga—bersama Bahrain—memutuskan hubungan dengan Qatar pada tahun 2017.
Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani mengatakan kepada harian Italia, La Repubblica, bahwa konferensi perdamaian PBB yang ditunda harus dijadwalkan ulang dan pasukan Haftar harus dipaksa mundur. Embargo senjata harus dilakukan, kata Thani, untuk menghentikan negara-negara yang menyuplai amunisi dan senjata canggih.
AP PHOTO/MOHAMED BEN KHALIFA, FILE
Foto bertanggal 21 September 2018 ini memperlihatkan kombatan di bawah Pemerintah Libya dukungan PBB di medan tempur di Tripoli selatan, Libya.
Laporan terdahulu PBB menyebutkan, Uni Emirat Arab dan Mesir telah menyuplai senjata dan pesawat kepada Haftar sehingga pasukan Haftar lebih unggul dari sisi persenjataan dibandingkan dengan faksi-faksi di Libya. Adapun pemerintah Libya timur menuding Qatar dan Turki mendukung saingannya, yaitu faksi Islam di Libya bagian barat.
Posisi Eropa
Di Eropa, sikap sejumlah negara dalam isu Libya juga terbelah. Paris melihat Haftar sebagai sosok terbaik untuk mengakhiri kekacauan sejak pemberontakan terhadap Pemimpin Libya Moammar Khadafy yang didukung Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Paris pun pernah memberikan dukungan kepada Haftar.
Sementara Italia, dengan kepentingan minyaknya, mendukung pemerintahan Tripoli pimpinan Perdana Menteri Fayez el-Sarraj. Roma sangat marah terhadap Perancis yang enggan mendukung resolusi Uni Eropa yang memaksa Haftar menghentikan serangannya terhadap Tripoli.
ANSA VIA AP/GIUSEPPE LAMI
Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte memberikan keterangan kepada media di Chigi Palace di Roma, Senin (15/4/2019). Conte menyerukan gencatan senjata segera dilaksanakan di Libya dan mendesak agar pasukan pimpinan Khalifa Haftar segera ditarik dari Tripoli.
Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte menyerukan gencatan senjata segera dan penarikan pasukan Haftar. Menurut dia, operasi militer tidak akan membawa stabilitas di Libya dan kawasan.
Hampir dua minggu sejak penyerangan ke Tripoli, LNA yang berbasis di timur terjebak di pinggiran sebelah selatan kota. Mereka mendapat perlawanan yang hebat dari kelompok-kelompok bersenjata yang loyal terhadap pemerintah Tripoli dukungan internasional.
Meski terus mendapat gempuran dari LNA, Sarraj masih mampu bertahan berkat bantuan faksi-faksi dari barat Libya.
Situasi di Libya telah mengganggu suplai minyak, mendorong migrasi melintasi Laut Tengah ke Eropa, dan memungkinkan kelompok militan jihad untuk memanfaatkan situasi.
Warga Tripoli yang berjumlah 2,5 juta jiwa pun tetap beraktivitas normal meski sesekali suara ledakan dari pinggiran kota menggema. Kafe dan toko juga tetap buka dan terlihat ramai.
”Kami tetap beraktivitas. Alhamdulillah. Apalagi yang bisa kami perbuat?” kata Mohammed Taha (23) di jalanan yang banyak anak sekolah.
Konflik di Libya telah menyebabkan krisis kemanusiaan. PBB mencatat, sebanyak 174 orang meninggal, 756 orang terluka, dan 18.250 orang lainnya mengungsi dari tempat tinggal mereka.
Situasi di Libya tersebut telah mengganggu suplai minyak, mendorong migrasi melintasi Laut Tengah ke Eropa, dan memungkinkan kelompok militan jihad untuk memanfaatkan situasi.
Unjuk rasa
Walaupun Haftar memandang dirinya sebagai pemenang dalam perang melawan teroris, ada pihak yang justru melihatnya sebagai diktator seperti Khadafy. Sekitar 70 orang berunjuk rasa memprotes Haftar di Algiers Square di Tripoli, Selasa (16/4/2019).
PHOTO BY MAHMUD TURKIA/AFP
Warga Libya pengunjuk rasa memegang poster-poster berisi pesan menentang apa yang mereka sebut sebagai intervensi asing di Libya dalam unjuk rasa di Tripoli, Libya, Selasa (16/4/2019).
”Kami menentang Haftar dan pemerintahan militer,” ujar Assam Dirbig, seorang pengunjuk rasa.
Haftar merupakan salah satu perwira yang membantu Khadafy meraih kekuasaan tahun 1969, tetapi kemudian keduanya berselisih saat perang dengan Chad tahun 1980-an. Ia ditahan oleh warga Chad, tetapi kemudian dibebaskan oleh Badan Pusat Intelijen AS (CIA). Ia tinggal sekitar 20 tahun di Virginia sebelum kembali tahun 2011 untuk bergabung dengan pemberontakan melawan Khadafy.
Badan PBB untuk migrasi menyebutkan, 6.900 migran masih terjebak di tahanan pemerintah di Tripoli meski usaha untuk memindahkan mereka ke tempat yang lebih aman terus dilakukan. Migran yang ditahan itu terutama berasal dari Afrika dan Suriah yang berusaha menyeberangi Sahara dan Laut Tengah menuju Eropa.
Beberapa tahanan di salah satu rumah tahanan yang dekat dengan pusat kontak senjata menolak direlokasi. Mereka menghendaki adanya solusi permanen terhadap status mereka. (REUTERS/AP/AFP)