JAKARTA, KOMPAS – Tahun ini Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memberikan rekomendasi kuota penangkapan hiu jenis lanjaman (Carcharhinus falciformis) sebanyak maksimal 80.000 ekor untuk seluruh perairan di Indonesia. Namun, kemampuan petugas di lapangan untuk mengidentifikasi dan mendata jenis hiu maupun bagian hiu agar penangkapan hiu tidak melebihi kuota masih terbatas.
Penangkapan hiu tersebut juga dibatasi pada panjang tubuh minimal 2 meter dan berat 50 kilogram. Pada ukuran dan bobot tersebut hiu lanjaman telah matang reproduksi dan pernah bereproduksi. Ini untuk menghindari penangkapan hiu berukuran kecil yang belum sempat menghasilkan keturunan.
Rekomendasi itu dilakukan menggunakan protokol Non-Detriment Finding (NDF) yang disusun P2O LIPI. Alat penganalisa risiko pemanfaatan hiu ini didasarkan pada aspek biologi, perikanan, pemanfaatan, dan pengelolaan. NDF hiu lanjaman di Indonesia merupakan dokumen pertama yang menjadi protokol pengelolaan penangkapan hiu.
Ke depan, P2O LIPI juga akan menyusun NDF bagi sembilan hiu lainnya yang juga ditetapkan dalam Appendix II CITES (Konvensi Internasional Perdagangan Satwa dan Tumbuhan Satwa Liar Terancam Punah). Masuk dalam Appendix II berarti perdagangan satwa maupun bagian satwa tersebut dilakukan secara terbatas. Di Indonesia, pembatasan menggunakan mekanisme kuota.
“Tantangan kita ke depan paling mendasar adalah memperkuat kemampuan petugas yang di ujung (tempat pendaratan ikan, bandara, dan pelabuhan). Percuma bikin dokumen bagus kalau di lapangan, itu-ini hiunya apa ya?” kata Dirhamsyah, Kepala P2O LIPI, Senin (15/4/2019) dalam peluncuran dokumen NDF hiu lanjaman.
Tantangan kita ke depan paling mendasar adalah memperkuat kemampuan petugas yang di ujung (tempat pendaratan ikan, bandara, dan pelabuhan).
Susah dibedakan
Hiu lanjaman jenis C falciformis ini bagian dari sedikitnya 20 spesies hiu dari marga Carcharhinus. Antara jenis satu dengan jenis hiu lain bisa sangat mirip. Lebih susah dibedakan lagi bila hiu yang didaratkan hanya berupa sirip/ekor.
Menurut Selvia Oktaviani, peneliti elasmobranch P2O LIPI, identifikasi jenis hiu maupun bagian hiu membutuhkan peningkatan kapasitas petugas di lapangan. Dari sisi ukuran, ia mengatakan sirip yang berukuran lebih dari 30 centimeter memiliki panjang 2 meter.
Hiu lanjaman C falciformis diprioritaskan dalam pengaturan karena mendominasi jenis hiu yang ditangkap dan didaratkan di Indonesia. Mengutip data Statistik Perikanan 2015, Dirhamsyah menyebutkan 60 persen total produksi hiu di Indonesia berasal dari kelompok hiu lanjaman seluruh famili Carcharhinidae dan 54 persen diantaranya berjenis C falciformis.
Ketua Perkumpulan Eksportir Sirip Ikan Hiu dan Pari Indonesia (Pesihipindo) Paul Djunaidi, mengatakan kuota 80.000 ekor terlalu sedikit dibandingkan kebutuhan 500.000 ekor. Paparan Andi Rusandi, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, menunjukkan eksploitasi hiu di perairan Indonesia 100.000 ton per tahun.
“Karena ini sudah jadi keputusan pemerintah ya kami akan ikuti sesuai aturan. Saya akan berusaha beri pengertian (pada anggota asosiasi dan nelayan),” kata Paul Djunaidi.
Sanksi administrasi
Ia pun menjelaskan praktik pendaratan ikan hiu yang hanya menyisakan sirip dan ekor dilatarbelakangi ketiadaan es serta keterbatasan perahu nelayan. Perahu nelayan yang kecil lebih menguntungkan jika diisi sirip/ekor hiu dan ikan bernilai tinggi lain dibandingkan badan hiu.
Indra Eksploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan pelanggar kuota akan mendapatkan sanksi administrasi. Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang tersebar di Indonesia juga akan melakukan pengawasan terhadap kepatuhan pelaksanaan kuota.
Irfan Yulianto, Koordinator Program Perikanan Wildlife Conservation Society mengatakan pembatasan ukuran tangkap hiu lanjaman bisa dilakukan dengan penyesuaian ukuran mata kail yang lebih besar. Selain itu, pengaturan lokasi penangkapan juga diperlukan agar perburuan hiu tak dilakukan di perairan yang menjadi habitat hidup anakan.