Petani karet masih kesulitan modal. Akibatnya Unit Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet (UPPB) yang dibangun untuk membantu mendongkrak harga karet petani belum berjalan optimal.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS—Petani karet masih kesulitan modal. Akibatnya Unit Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet (UPPB) yang dibangun untuk membantu mendongkrak harga karet petani belum berjalan optimal.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumatara Selatan (Sumsel) Rudi Arpian, Selasa (16/4/2019) di Palembang mengatakan, hingga kini, jumlah Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) di Sumsel mencapai 205 unit, atau sekitar 6 persen dari total hasil karet yang diproduksi. Jumlah ini sebenarnya meningkat dibanding tahun lalu yang hanya sekitar 177 unit. Namun ujar Rudi, jumlah ini belum sesuai dengan rata-rata produksi karet alam di Sumsel per tahun sekitar 1 juta ton.
Rudi mengatakan, permodalan menjadi penyebab utama UPPB kurang diminati oleh petani. Mereka menganggap, melalui UPPB, hasil karet alam tidak bisa langsung dijual setelah disadap, melainkan harus menunggu hingga satu minggu proses lelang. “Padahal sebagian besar petani memang sangat bergantung pada hasil karet. Biasanya, hari ini disadap, paling lambat keesokan harinya sudah bisa dijual,” kata dia.
Hal ini yang membuat pergerakan UPPB di Sumsel belum optimal. Apabila dilihat dari jumlah rata-rata produksi, seharusnya jumlah UPPB di Sumsel saat ini sudah mencapai 3.000 unit.
Tidak hanya itu, kebanyakan petani sudah terikat dengan permainan tengkulak. Biasanya, petani telah berhutang dengan tengkulak sehingga mau tidak mau hasil dari menyadap karet langsung disalurkan dengan tengkulak. “Akhirnya, petani pun hanya bisa pasrah dengan harga yang sudah dipatok oleh tengkulak,” kata Rudi.
Akhirnya, petani pun hanya bisa pasrah dengan harga yang sudah dipatok oleh tengkulak
Rudi mengatakan, keberadaan UPPB sebenarnya sangat membantu petani memperoleh pendapatan yang lebih baik dibanding melalui tengkulak. Misalnya, saat ini, harga bahan olah karet (bokar) di atas kapal (FOB) dengan kadar karet kering (K3) 100 persen, bisa mencapai Rp 18.708 per kg.
Di tingkat petani, dengan K3 sebesar 50 persen, harga yang diperoleh mencapai Rp 9.354 per kg. “Selisih harga di UPPB dan di tengkulak mencapai Rp 4.000 per kg,” katanya.
Apalagi, ujar Rudi, sejak adanya penerapan pembatasan ekspor yang dimulai pada 1 April 2019, harga karet terus merangkak naik. “Tentu hal ini akan mebuat petani semakin semangat untuk menyadap,” kata dia.
Peneliti dari Balai Penelitian Sembawa Pusat Penelitian Karet, Aprizal Alamsyah mengatakan, keberadaan UPPB terbukti mendatangkan manfaat bagi petani. Keberadaan UPPB membuat petani akan mengikuti standar dalam mengolah karet. Hal ini berdampak pada membaiknya kualitas karet alam yang dihasilkan petani. “Karet yang dihasilkan petani lebih bebas dari kontaminan,” kata dia.
Selain itu dengan keberadaan UPPB, posisi tawar petani akan lebih besar dibanding harus menjual karet secara perorangan. “Dengan posisi tawar yang lebih besar, keuntungan yang diterima petani akan lebih besar,” kata dia.
Berdasarkan penelitian, harga bersih bokar di tingkat petani yang melalui UPPB bisa mencapai 83,85 persen dari harga FOB. Jumlah itu lebih tinggi dari harga jual lewat jalur tradisional, yakni sekitar 69,90 persen dari FOB.
Saat ini, jelas Aprizal, jumlah UPPB di Indonesia masih minim yakni hanya berjumlah 472 UPPB (337 UPPB teregistrasi, 135 UPPB belum teregistrasi) dengan produksi bokar UPPB mencapai 116.007 ton per tahun atau 3,7 persen total produksi perkebunan karet rakyat sekitar 3,1 juta ton per tahun.
Adapun di Sumsel, jumlah UPPB mencapai 205 UPPB dengan produksi bokar UPPB mencapai 65.000 ton per tahun atau hanya 6 persen dari total produksi kebun karet rakyat sekitar 1 juta ton per tahun. “Karena itu, dibutuhkan peran dari semua pemangku kepentingan untuk mendorong keberadaan UPPB serta mensosialisaksikannya pada petani,” kata dia.