JAKARTA, KOMPAS — Laba perusahaan yang bisnis utamanya bergerak di sektor minyak sawit merosot. Penyebabnya, harga minyak sawit di pasar dunia turun, tetapi biaya produksi tetap meningkat.
PT Astra Agro Lestari Tbk membukukan laba Rp 1,44 triliun pada 2018 atau turun 26,9 persen secara tahunan.
”Perolehan laba bersih turun karena harga CPO turun dan biaya produksi tetap meningkat,” kata Presiden Direktur Astra Agro Lestari, Santosa, dalam konferensi pers seusai rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) di Jakarta, Senin (15/4/2019).
Dalam RUPST disetujui penggunaan laba bersih 2018 sebesar Rp 1,44 triliun. Sebesar 45 persen laba bersih dibagikan sebagai dividen, sedangkan sisanya dibukukan sebagai laba ditahan.
Lebih lanjut, Santosa memaparkan, pendapatan yang dicetak perusahaan pada 2018 tumbuh 10,3 persen secara tahunan menjadi Rp 19,08 triliun. Kinerja operasional perusahaan ditopang peningkatan produksi minyak sawit mentah (CPO) yang sebanyak 1,94 juta ton pada 2018.
Data di laman Kementerian Perdagangan menunjukkan, harga referensi produk CPO untuk penetapan bea keluar April 2019 sebesar 568,12 dollar AS per ton.
Dengan penurunan laba bersih, lanjut Santosa, belanja modal perusahaan pada 2018 turun jadi Rp 1,6 triliun. Padahal, pada 2017, belanja modal Rp 1,75 triliun. Belanja modal antara lain digunakan untuk pemeliharaan tanaman yang belum menghasilkan serta pemeliharaan sarana atau infrastruktur perkebunan.
Sentimen positif
Terkait penerapan campuran 20 persen biodiesel ke dalam setiap liter solar atau B20, menurut Wakil Presiden Direktur Astra Agro Lestari, Joko Supriyono, dapat meningkatkan penyerapan minyak sawit di dalam negeri. Dengan demikian, mandatori B20 berdampak pada stok minyak sawit. Penurunan stok minyak diharapkan dapat menjadi sentimen positif bagi pembentukan harga minyak sawit di pasar global.
Namun, Santosa mengingatkan, pelaksanaan kebijakan B30 atau B50 perlu didukung persiapan teknis yang matang agar tidak dipandang negatif oleh pasar.
Astra Agro Lestari memiliki perkebunan sawit seluas 285.000 hektar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. (FER)