"Game Online" Bisa Berdampak Negatif bagi Perekonomian RI
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak perkembangan gim daring, termasuk e-sport, terhadap perekonomian RI mesti diwaspadai. Perusahaan gim daring masih didominasi asing yang menyebabkan aliran dana keluar negeri sehingga berpotensi memperburuk kinerja neraca pembayaran.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, berpendapat, manfaat ekonomi dari industri gim daring sangat besar. Kondisi itu sejalan dengan perkembangan ekonomi digital di sejumlah negara.
Laporan Global Games Market 2018, yang diterbitkan lembaga riset dan konsultan gim daring Newzoo, menunjukkan, terdapat 2,3 miliar orang yang bermain gim dengan valuasi sebesar 137 miliar dollar AS. Dari angka itu, gim daring menguasai pasar dengan nilai 125 miliar dollar AS.
Dari daftar negara, China berada di daftar teratas penyumbang pasar terbesar dengan nilai 37 miliar dollar AS. Sementara Indonesia berada di urutan ke-17 dengan angka mencapai 1,1 miliar dollar AS. Jumlah orang yang bermain gim di Indonesia sebesar 80 juta orang atau sepertiga jumlah penduduk.
Gim daring menguasai pasar dengan nilai 125 miliar dollar AS. Indonesia berada di urutan ke-17 dengan angka mencapai 1,1 miliar dollar AS. Jumlah orang yang bermain gim di Indonesia sebesar 80 juta orang atau sepertiga jumlah penduduk.
“Jika pemerintah ingin menjadikan industri gim daring sebagai salah satu sumber ekonomi baru, start up gim daring lokal harus dikembangkan atau didorong bekerjasama dengan asing,” kata Bhima dalam diskusi publik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa (16/4/2019).
Di Indonesia, penggemar gim daring asing lebih tinggi ketimbang gim lokal, seperti Mobile Legends asal China, PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) asal Korea Selatan, dan Counter-Strike atau CS asal Amerika Serikat. Pemain juga harus merogoh kocek untuk ‘mempercantik’ karakter gim.
Bhima menuturkan, uang yang dibayar para pemain gim tidak masuk dalam sistem pembayaran Indonesia. Transaksi akan mengalir keluar negeri karena gim diproduksi perusahaan asing yang belum menjadi Badan Usaha Tetap (BUT). Kondisi itu mesti diwaspadai karena potensi kebocoran ekonomi semakin besar.
“Industri gim daring justru berdampak buruk terhadap neraca pembayaran bahkan nilai tukar rupiah. Logikanya bisa sejauh itu,” ujar Bhima.
Uang yang dibayar para pemain gim tidak masuk dalam sistem pembayaran Indonesia. Transaksi akan mengalir keluar negeri karena gim diproduksi perusahaan asing yang belum menjadi Badan Usaha Tetap (BUT).
Antisipasi segera
Menurut Bhima, dampak negatif perkembangan gim daring terhadap perekonomian RI masih bisa diantisipasi. Kebijakan mesti diarahkan untuk mendukung perkembangan usaha rintisan gim daring lokal. Mereka bisa diberikan pendampingan atau didorong bekerjasama dengan perusahaan gim asing.
Di sisi lain, pemerintah juga mesti menyusun regulasi agar perusahaan gim asing melakukan transaksi dalam rupiah atau sistem pembayaran yang disahkan Bank Indonesia. Tujuannya agar pengawasan terhadap arus lalu lintas uang lebih ketat. Pada dasarnya, regulasi gim daring sama dengan ekonomi digital lainnya.
“Bila perlu, pemerintah sangat dimungkinkan untuk bekerjasama dengan Google Playstore atau Apple Store platform aplikasi unduh gim,” ujar Bhima.
Secara terpisah, pengajar hukum pajak Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Adrianto Dwi Nugroho mengatakan, proses bisnis ekonomi digital terlalu kompleks dan luas. Di tataran internasional belum ada formulasi baku tentang sistem pemungutan pajak untuk e-dagang atau perusahaan berbasis digital lainnya.
Beberapa negara, seperti Inggris dan Italia, memang sudah punya pajak layanan digital, tetapi pemerhati pajak masih skeptis apakah kebijakan itu akan berhasil atau justru kontraproduktif dengan penerimaan negara.
"Diperlukan jenis pajak baru untuk ekonomi digital yang bukan hasil modifikasi dari UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penghasilan (PPh)," kata Adrianto.
Diperlukan jenis pajak baru untuk ekonomi digital yang bukan hasil modifikasi dari UU Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penghasilan.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menuturkan, pemerintah tengah mendorong perusahaan aplikasi internet asing yang mengumpulkan transaksi bisnis dari Indonesia segera membangun badan hukum resmi. Selain memudahkan layanan pelanggan, keberadaan badan hukum Indonesia akan memudahkan pencatatan penerimaan pajak.
Secara nasional, pemerintah Indonesia sedang melakukan pencatatan data transaksi perdagangan secara elektronik atau e-dagang. Upaya ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik 2017-2019 yang diundangkan pada 3 Agustus 2017.
Pada tahun yang sama, Badan Pusat Statistik menerbitkan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 19 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Peraturan ini turut memasukkan kategori/kode 4791, yaitu perdagangan eceran melalui pemesanan pos atau internet.