Akses Ke Masyarakat Tingkatkan Kesejahteraan Warga dan Tutupan Lahan
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hasil studi pada empat contoh hutan kemasyarakatan di Lampung dan Yogyakarta menunjukkan pemberian akses perhutanan sosial meningkatkan kesejahteraan warga, kohesi sosial, dan tutupan lahan. Pemerintah didorong lebih progresif memberi akses bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan untuk mengelola dan memanfaatkannya.
Buku Dampak Perhutanan Sosial: Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan disusun tim peneliti Mudrajad Kuncoro (Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Senin (15/4/2019), di Jakarta, menyebut pendapatan petani hutan kemasyarakatan (HKm) per tahun Rp 1 juta - Rp 140 juta, 78,5 persennya pada interval Rp 1 juta - Rp 39,9 juta per tahun dan rata-rata pendapatan petani HKm Rp28.340.724 per tahun atau Rp 2,36 juta per bulan.
Penelitian selama empat bulan itu dilakukan di Kelompok HKm Mandiri, Dusun Kalibiru, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo dan Kelompok Tani Manunggal, Dusun Menggoran II, Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, Kelompok HKm Beringin Jaya, Desa Margoyoso, dan Kelompok Sinar Mulya, Desa Sukamaju, Kecamatan Ulubelu, Kabupaten Tanggamus, Lampung. HKm di DI Yogyakarta digunakan untuk penanaman tanaman keras seperti jati dan akasia yang tak bisa dipanen tahunan dan HKm di Lampung digunakan sebagai tanaman kopi.
Untuk kebutuhan harian, Kelompok HKM di Yogyakarta itu memanfaatkan lahan untuk daya tarik wisata. Dari sisi kepemilikan motor, para petani HKm di Yogyakarta dan Lampung memiliki kendaraan roda dua 1 – 5 unit dan beberapa memiliki mobil yang digunakan untuk menunjang produksi.
“Dari sosial kelembagaan koperasi memperkuat peningkatan kapasitas di lokal,” kata Mudrajad Kuncoro, saat jadi narasumber dalam Ngobrolin Hutan Sosial, Senin di Jakarta. Pembicara lain adalah Nur Amalia (anggota Pokja Perhutanan Sosial), Wito Laros (Kemitraan), dan Paguyuban Tani Sunda Hejo.
Dari sosial kelembagaan koperasi memperkuat peningkatan kapasitas di lokal.
Dari sisi tutupan lahan, di Dusun Kalibiru terdapat perubahan tutupan lahan dari pertanian lahan kering campur menjadi hutan lahan kering sekunder seluas 113,77 ha. Di lokasi izin HKm ini juga dilakukan rehabilitasi hutan kecuali pada HKm di Gunung Kidul.
Mudrajad Kuncoro mengatakan kunci sukses HKm ini juga menggambarkan jenis hutan sosial lain. Misalnya, pada tahun lalu, ia juga memvaluasi dampak hutan desa di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
“Secara garis besar hasilnya sama yaitu kesejahteraan masyarakat meningkat,” kata dia. Menurut catatan Kompas, riset serupa dijalankan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di sejumlah areal hutan adat. Di Hutan Adat Malaumkarta Sorong, Papua Barat, misalnya, hutan adat mampu memberi penghidupan bagi warga lebih tinggi daripada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten tanpa minyak dan gas.
Berkelanjutan
Mudradjad menambahkan, HKm di Lampung memberi pelajaran penting bahwa produk masyarakat bisa berlanjut dan berdampak positif jika memiliki industri besar penerima. Kopi dari Tanggamus yang dikelola HKm diserap oleh Nestle menjadi bahan kopi Nescafe.
“Jadi harus ada industri besar yang menyerap hasil masyarakat karena kebutuhan, bukan karena CSR. Ada bisnis di situ. Jadi masyarakat kecil bisa diangkat menjadi menengah kalau ada industri bsar,” ujarnya.
Ia menambahkan, lama pemberian izin berkorelasi dengan peningkatan pendapatan. Karena itu, ia mendorong agar pemerintah – dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK – tak ragu memberi akses perhutanan sosial pada masyarakat.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto memaparkan, sejak tahun lalu pemberian akses izin perhutanan sosial dipercepat. Namun percepatan itu tetap dilakukan hati-hati agar penerima betul-betul masyarakat setempat.
Ia mengingatkan ada sejumlah kasus dialaminya akibat “terlalu cepat” memberikan izin. Di Aceh, Jambi, dan Sumatera Utara, ia diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara antara lain karena dituding lokasi dan penerima tidak tepat.
Karena itu, KLHK telah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. KLHK diberi pembaca kartu KTP-el dan password untuk mengakses data kependudukan. “Jadi verifikasi di lapangan nanti masyarakat penerima betul-betul warga setempat. Bukan orang yang dimobilisasi,” ujarnya.