Waspadai Risiko Tekanan Global terhadap Kurs Rupiah
Pertumbuhan utang luar negeri Indonesia perlu diwaspadai karena situasi perekonomian global masih diselimuti ketidakpastian. Risiko jangka pendek dan jangka panjang bisa datang dari volatilitas nilai tukar rupiah. Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Institute, Eric Alexander Sugandi mengatakan, risiko pertumbuhan utang luar negeri bersumber dari volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan utang luar negeri Indonesia perlu diwaspadai karena situasi perekonomian global masih diselimuti ketidakpastian. Risiko jangka pendek dan jangka panjang bisa datang dari volatilitas nilai tukar rupiah.
Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Institute, Eric Alexander Sugandi, yang dihubungi Kompas di Jepang, mengatakan, risiko pertumbuhan utang luar negeri bersumber dari volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Rupiah masih berpotensi melemah, yang dipengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan dinamika politik kawasan.
”Faktor eksternal yang berpengaruh kuat ke kurs rupiah ialah ketidakpastian negosiasi perang dagang AS-China dan kesepakatan Brexit,” ujar Eric, Senin (15/4/2019) .
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan melambat tak akan berdampak signifikan terhadap Indonesia. Dampak negatif ada, tetapi tidak terlalu besar karena sumber pertumbuhan dari ekonomi domestik cukup kuat. Perlambatan pertumbuhan ekonomi justru berpengaruh besar terhadap kinerja ekspor.
Selain faktor eksternal, lanjut Eric, risiko pertumbuhan utang luar negeri juga bersumber dari dalam negeri. Porsi investor asing dinilai masih cukup besar, baik dalam instrumen obligasi sekitar 38 persen maupun portofolio berkisar 40-50 persen. Potensi arus modal keluar masih ada sehingga bisa memengaruhi volatilitas rupiah.
”Risiko jangka pendek dan panjang dari utang luar negeri tetap bersumber dari volatilitas rupiah. Antisipasi tetap harus dilakukan,” kata Eric.
Di tengah ketidakpastian global, ujar Eric, upaya mengurangi risiko bisa ditempuh dengan melakukan lindung nilai. Bank Indonesia (BI) sudah menerbitkan berbagai jenis lindung nilai yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan.
Di sisi lain, volatilitas rupiah juga diredam dengan peningkatan cadangan devisa dan porsi kepemilikan domestik.
Utang manufaktur
Ditilik per sektor ekonomi, berdasarkan data BI, utang luar negeri industri manufaktur per Februari 2019 menempati peringkat tertinggi kedua, sebesar 36,94 miliar dollar AS, setelah jasa keuangan dan asuransi yang sebesar Rp 76,97 miliar dollar AS. Utang industri manufaktur itu turun tipis dibandingkan Januari 2019, yakni 36,95 miliar dollar AS.
Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpendapat, aktivitas investasi dan produksi sektor manufaktur paling besar dibandingkan sektor ekonomi lain sehingga utang luar negeri cukup besar.
Di sisi lain, tingginya utang industri manufaktur karena orientasi produk yang dihasilkan mayoritas untuk dalam negeri.
”Selama ini, industri manufaktur kurang didorong ke pasar ekspor, sementara impor bahan baku dan bahan modal tinggi,” kata Faisal.
Menurut Faisal, utang luar negeri industri manufaktur mesti diwaspadai. Sebab, upaya mendapat dollar AS dari kegiatan ekspor cukup sulit sehingga dikhawatirkan memengaruhi kemampuan bayar utang. Ketergantungan terhadap impor juga mesti dikurangi secara bertahap agar tak semakin membebani perusahaan.
Mengutip data yang dirilis BI pada Senin (15/4/2019), utang luar negeri Indonesia per Februari 2019 tumbuh 8,8 persen secara tahunan menjadi 388,7 miliar dollar AS. Berdasarkan nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Senin sore, yang sebesar Rp 14.067 per dollar AS, utang itu setara Rp 5.467,8 triliun.
Postur utang luar negeri terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 193,8 miliar dollar AS serta utang swasta termasuk BUMN sebesar 194,9 miliar dollar AS.
BI menyebutkan, pertumbuhan utang luar negeri disebabkan kenaikan utang pemerintah sebesar 7,3 persen secara tahunan menjadi 190,8 miliar dollar AS.
Untuk memperkecil risiko tekanan eksternal terhadap perekonomian, Gubernur BI Perry Warjiyo mendukung rencana Dana Moneter Internasional (IMF) dalam menyusun kerangka kerja kebijakan terintegrasi (Integrated Policy Framework/IPF). BI menyoroti pentingnya bauran kebijakan untuk menghadapi volatilitas perekonomian global.
IPF tersebut bertujuan untuk memitigasi risiko, meningkatkan daya tahan, serta mendorong pertumbuhan inklusif dan berkesinambungan. IPF juga mempertimbangkan interaksi antara kebijakan moneter, nilai tukar, makroprudensial, dan pengelolaan arus modal asing.