Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya memiliki reputasi cemerlang dalam mengungkap kasus penculikan dan penyekapan. Polisi bekerja cepat dalam kasus penculikan karena berkejaran dengan waktu. Penculik bisa melakukan apa saja terhadap korbannya yang tak berdaya.
Catatan Kompas, pada November 2017, polisi membebaskan tiga pria yang diculik karena masalah utang piutang sebesar Rp 1 miliar. Masih di bulan November 2017, polisi berhasil mengungkap penculikan anak warga Korea Selatan berinisial KH (10) yang akhirnya ditemukan di Jakarta. Kasus-kasus di atas dan sejumlah kasus penculikan lainnya dapat terungkap dalam waktu singkat.
Namun, kasus penculikan anak balita berisial ASA (3) yang menghilang saat bermain di perumahan Bintara III, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (9/4/2019) pagi hingga Minggu (14/4) belum berhasil dipecahkan.
Menurut keterangan para saksi dan rekaman kamera pemantau (CCTV), penculik Anisa adalah seorang perempuan. Polisi baru merilis ciri-ciri pelaku penculikan, yaitu seorang wanita berusia sekitar 50 tahun, tinggi sekitar 150 cm, mata tajam, bentuk muka lonjong, dagu berat, hidung lurus, warna kulit sawo matang. Pelaku memakai kerudung merah marun, baju gamis motif warna biru, membawa tas jinjing coklat, dan berjalan kaki.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono, Minggu (14/4), mengatakan, Polda Metro Jaya bersama-sama dengan Polres Metro Bekasi Kota menyelidiki kasus penculikan. Polisi masih menyelidiki motif penculikan Anisa.
”Pelakunya untuk sementara satu orang, tapi belum bisa dipastikan jumlahnya. Ciri-ciri pelakunya sesuai sketsa pelaku yang disebarkan,” kata Argo.
Argo memastikan polisi terus menyelidiki kasus hilangnya ASA. Namun, Argo enggan mengungkapkan perkembangan penyelidikan secara detail. Apakah lokasi penculik dan korban sudah terdeteksi juga masih dirahasiakan.
Kepala Subbagian Humas Polres Metro Bekasi Kota Komisaris Erna Ruswing mengatakan, sampai Jumat pekan lalu polisi telah memeriksa lima saksi. Menurut keterangan saksi, pelaku penculikan diketahui kerap hilir mudik di sekitar lokasi penculikan.
Psikolog forensik Reza Indragiri mengungkapkan, kasus penculikan anak di Indonesia memang tidak banyak. Selain itu, Reza menilai, polisi tidak terlalu gencar menyampaikan perkembangan penyelidikan kasus hilangnya Anisa seperti kasus-kasus lain yang melibatkan anak.
”Untuk memastikan motifnya apa adalah tugas polisi. Saya khawatir kasus semacam ini adalah perdagangan orang atau perdagangan organ tubuh. Mudah-mudahan tidak. Saya tidak punya dasar untuk membangun spekulasi apakah (motifnya) perdagangan orang atau ingin menjual anak,” ujar Reza.
Menurut Reza, meskipun ada rekaman CCTV, tidak menjamin kasus penculikan Anisa cepat terungkap. Di kota besar, seperti New York, dalam satu blok terdapat ratusan hingga ribuan CCTV yang terkoneksi sehingga efektif mengungkap kejahatan.
”Kalau CCTV hanya bertengger di satu titik, tetapi tidak sinergi dengan CCTV di titik lain, tidak ada pusat komandonya, maka fungsinya tidak banyak. Contohnya pembunuhan pelajar putri di dekat Terminal Baranangsiang, Bogor, terekam CCTV, tetapi kasus tidak terungkap karena satu CCTV dengan yang lain tidak terkoneksi dengan baik,” lanjutnya.
Indra menjelaskan, hasil riset menunjukkan foto terduga pelaku kejahatan berdasarkan keterangan saksi tidak banyak membantu. Alasannya, karena daya ingat saksi pada saat Anisa diculik tidak dalam posisi siap mengindera ciri-ciri pelaku. Kita pun pada umumnya jarang memperhatikan orang lain di tempat terbuka.
Menurut Indra, di negara maju, penculikan anak adalah kasus kejahatan serius karena khawatir anak bisa ”diapa-apakan”. Misalnya dianiaya, diperkosa, diambil organnya, atau diperdagangkan. Polisi dan media dalam kasus ASA harus membuat laporan berkala tentang perkembangan penyelidikannya.