Semangat Merdeka dalam Kelindan Kuasa
Memasuki Era Orde Baru, Medan Merdeka sunyi dari suara rakyat. Berkebalikan dengan Orde Lama, Pemerintahan Orde Baru melarang aksi unjuk rasa di Medan Merdeka. Sebagai ruang pusat kekuasaan, Medan Merdeka menjadi cerminan karakter pemimpin yang berkuasa.
Selama 201 tahun sejak pertama dibuka Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels, kawasan Medan Merdeka menjadi ruang utama kekuasaan di negeri ini. Kawasan itu menyaksikan beragam ketegangan politik dan menjadi saksi pergantian kekuasaan. Perubahan kekuasaan turut membentuk kawasan itu.
Salah satu ikon kawasan Medan Merdeka tak lain adalah Tugu Monumen Nasional (Monas) dan taman luas di sekitarnya.
Bahwa tugu ini harus melambangkan api yang berkobar dalam dada kita// Bahwa tugu ini harus tahan 1.000 tahun// Tetapi harus menggambarkan bangsa yang sebenarnya bergerak.
Nunus Supardi (76), penulis buku 50 Tahun Monas, membacakan puisi ciptaannya yang terinspirasi dari pidato presiden pertama Soekarno di rumahnya di Jakarta Barat, Kamis (11/4/2019).
”Presiden Soekarno berharap Monas ini menjadi simbol tekad bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun, setelah itu, juga sempat ada unjuk rasa menuntut Monas dirobohkan oleh gerakan anti-Soekarno,” katanya.
Presiden Soekarno berharap Monas ini menjadi simbol tekad bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun, setelah itu, juga sempat ada unjuk rasa menuntut Monas dirobohkan oleh gerakan anti-Soekarno.
Terlepas dari berbagai kontroversi pembangunannya, Monas menandai peralihan kekuasaan terbesar negeri ini, yaitu dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka.
Hingga sekarang, tugu yang pembangunannya dimulai 17 Agustus 1961 itu menjadi pusat orientasi penataan kawasan Medan Merdeka.
Nama Medan Merdeka menggantikan nama Koningsplein atau Medan Raja. Selama sekitar 127 tahun (1818-1945), Koningsplein digunakan secara resmi oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menyebut elite pemerintah kolonial itu. Adapun pribumi lebih akrab dengan nama Lapangan Gambir karena konon saat itu banyak pohon gambir di sana.
Adapun pribumi lebih akrab dengan nama Lapangan Gambir karena konon saat itu banyak pohon gambir di sana.
Koningsplein tumbuh sebagai pusat kota baru setelah pemerintah kolonial Belanda memindahkan pusat Batavia dari Kota Tua yang dirundung wabah malaria mematikan.
Nama Lapangan Gambir kembali populer setelah kekalahan Belanda dari Jepang. Di bagian selatannya pernah dikenal sebagai Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (Ikada). Di sanalah, orasi monumental Bung Karno digelar pada 19 September 1945.
Tak diketahui jelas asal nama Medan Merdeka. Konon, istilah Merdeka berasal dari pekik ”merdeka!” yang pada awal-awal masa kemerdekaan sering terdengar diserukan di kawasan itu.
Tanpa penataan
Dari kawasan hutan pada sekitar tahun 1600-an menjadi kubangan kerbau pada awal 1800-an dan menjadi perumahan elite berhias taman-taman asri pada akhir 1800-an, Koningsplein tumbuh menjadi pusat kekuasaan yang ruwet.
Rel dan stasiun mulai dibangun sekitar 1871. Mendekati 1942, bangunan di lapangan di mana Monas sekarang semakin padat. Di lapangan itu pernah berdiri kantor telepon pertama, kantor pemerintahan, kantor polisi, bercampur dengan taman, bioskop, hingga lapangan olahraga.
Menjelang pembangunan Monas, bangunan-bangunan itu dibersihkan sehingga terbentuk lapangan seluas sekitar 1 kilometer persegi. Kawasan ini konon merupakan salah satu lapangan ibu kota terluas di dunia.
Pada 17 Agustus 1961, konstruksi Monas dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Pembangunannya tercatat memakan biaya Rp 358.328.107,57 pada 1972. Sebagian melihatnya sebagai simbol semangat merdeka. Sebagian lainnya mengkritik sebagai politik mercusuar yang hanya membangun monumen megah, padahal rakyat lebih butuh pembangunan sebenarnya.
Cerminan penguasa
Sebagai pusat kekuasaan, Medan Merdeka tak pelak menjadi cerminan karakter pemerintah yang tengah berkuasa. Selama Orde Lama, unjuk rasa dan demonstrasi bebas digelar di Medan Merdeka. Tak ada pagar di sana, rakyat pun bebas berbagi rasa merdeka di medan luas di tengah sesaknya Ibu Kota.
Pada era 1960-an itu, unjuk rasa silih berganti digelar, dari mahasiswa yang mengkritik pemerintahan Soekarno hingga unjuk rasa partai politik dan organisasi pendukungnya.
Memasuki 1965, Medan Merdeka kembali menyaksikan pergantian kekuasaan, kali ini dari Orde Lama menjadi Orde Baru. Pergantian ini begitu menegangkan. Sejarawan Adolf Heukeun yang menyaksikan, di bukunya, Medan Merdeka-Jantung Ibukota RI”, menggambarkan para tentara yang membanjiri dan terlihat kebingungan di Medan Merdeka.
Sepanjang masa pergantian kekuasaan itu, antara 1966-1972, pembangunan Monas terbengkalai. Kawasan lapangan terbuka itu gelap minim penerangan. Pepohonan dan semak belukar tumbuh liar. Di sela-selanya berdiri gubuk-gubuk liar. Kejahatan jalanan menghantui.
Baru sekitar tahun 1972, Presiden Soeharto menyatakan akan melanjutkan pembangunan Monas. ”Meskipun ini proyek peninggalan pemerintah lama, maksud dan tujuannya baik, yaitu untuk memberi arti monumental perjuangan rakyat Indonesia,” katanya saat meninjau Monas yang belum selesai (Kompas, Jumat 11 Agustus 1972).
Meskipun ini proyek peninggalan pemerintah lama, maksud dan tujuannya baik, yaitu untuk memberi arti monumental perjuangan rakyat Indonesia.
Pembersihan kawasan pun dilakukan. Begal ditangkap, gubuk-gubuk liar dirobohkan. Pembangunan berlanjut, tetapi diorama yang dirancang pada awal era Presiden Soekarno diganti menjadi sesuai dengan selera Presiden Soeharto.
Sepanjang era Orde Baru, Medan Merdeka sunyi dari unjuk rasa. Soeharto melarang aksi unjuk rasa di Medan Merdeka. Sampai kemudian, Orde Baru lengser pada 1998.
Baru pada era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tahun 1999, Medan Merdeka kembali terbuka untuk unjuk rasa. Sejak itu hingga sekarang hampir setiap hari unjuk rasa digelar di sana, baik di depan Balai Kota DKI Jakarta di Jalan Medan Merdeka Selatan, di kantor-kantor kementerian di empat sisinya, maupun Istana Merdeka di Jalan Merdeka Utara.
Pada 2001 menjelang Gus Dur meletakkan tampuk kepresidenan, kawasan kembali tegang oleh pergantian kekuasaan. Selama berbulan-bulan, unjuk rasa silih berganti digelar di sana. Massa yang menuntut Gus Dur mundur bergantian berbagi ruang dengan massa yang mendukung. Tank-tank tentara pun sempat diarahkan ke Istana Merdeka.
Pergantian kekuasaan berlangsung lebih tenteram. Unjuk rasa di Medan Merdeka terbesar pada era reformasi berlangsung pada 2 Desember 2017 atau dikenal Gerakan 212. Unjuk rasa yang membuat kawasan Medan Merdeka putih oleh para pengunjuk rasa itu menuntut pengusutan kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaha Purnama. Unjuk rasa itu juga tak lepas dari nuansa politis karena digelar menjelang Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.
Terus berubah
Para pemimpin juga menandai Medan Merdeka dengan patung-patung indah. Arjuna Wijaya karya Nyoman Nuarta berdiri di Jalan Merdeka Barat diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1987. Patung MH Thamrin karya Ketut Winata menandai ujung Jalan Merdeka Selatan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Para Gubernur DKI Jakarta juga terus mengganti kebijakan penataan. Setiap gubernur punya gaya berbeda. Gubernur Sutiyoso membangun pagar sekeliling Taman Monas pada 2003. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membongkar pagar pembatas taman dan jalur pejalan kaki pada 2018.
Pembangunan pagar, pembongkaran pagar, pelarangan dokar, diperbolehkannya lagi dokar, pelarangan kegiatan keagamaan dan diperbolehkannya lagi kegiatan keagamaan di Monas silih berganti diterapkan.
Rencana penataan kawasan Medan Merdeka dan Monas pun masih terus berlangsung. Revitalisasi kawasan Monas dan Medan Merdeka kembali dimulai pada 2019 ini.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Monas Munjirin mengatakan, konsep revitalisasi ini untuk modernisasi museum, adapun revitalisasi kawasan tapak terutama untuk integrasi dengan moda transportasi umum.
Kisah Medan Merdeka dan kekuasaan begitu kaya. Menjelang Pemilu 2019 ini, ruang utama kekuasaan itu pun kembali bersiap menjadi saksi pemimpin selanjutnya negeri ini.