Politik uang atau klientelisme tidak banyak berhubungan dengan kemiskinan. Klientelisme justru ditemukan di daerah-daerah yang hanya bergantung pada satu sektor peningkatan ekonomi seperti eksploitasi sumber daya alam. Di Kalimantan Tengah, Kabupaten Gunung Mas dan Kota Palangkaraya mendapatkan indeks klientelisme tinggi di Indonesia.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Politik uang atau klientelisme tidak banyak berhubungan dengan kemiskinan. Klientelisme justru ditemukan di daerah-daerah yang hanya bergantung pada satu sektor peningkatan ekonomi seperti eksploitasi sumber daya alam. Kalimantan Tengah, Kabupaten Gunung Mas dan Kota Palangkaraya mendapatkan indeks klientelisme tinggi di Indonesia.
Hal itu terungkap dalam bedah buku Democracy for Sale: Elections, Clentilism and state in Indonesia karya Ward Berenschot peneliti KITLV Belanda dan Edward Aspinal, peneliti dari Australian National University. Selain itu ada juga buku Citizenship in Indonesia: Perjuangan atas Hak, Identitas, dan Partisipasi karya peneliti dari University of Brisbane Prof. Gerry Van Klinken.
Menurut Ward, struktur ekonomi sangat berdampak pada politik transaksional. Semakin beragam industri dalam suatu daerah atau bervariasi sumber ekonominya politik uang akan berkurang.
“Politik uang semakin tinggi di daerah yang hanya bersumber pada satu sumber ekonomi, seperti daerah yang hanya mengandalkan sumber daya alam,” kata Ward.
Politik uang semakin tinggi di daerah yang hanya bersumber pada satu sumber ekonomi, seperti daerah yang hanya mengandalkan sumber daya alam
Dalam bukunya, Ward membuat Indeks Persepsi Klientelisme (IPK) di 33 provinsi di Indonesia. Pulau Jawa memiliki nilai indeks yang jauh lebih rendah dibanding pulau lainnya. Di Kalteng, Kabupaten Gunung Mas dan Kota Palangkaraya menjadi yang paling tinggi IPK masing-masing 7,9 poin dan 7,4 poin. Kota dengan IPK tertinggi adalah Kupang dengan nilai 8,0.
Indikator yang digunakan Ward dan Edwar beragam mulai dari biaya politik, serangan fajar, deal jabatan dan berbagai macam politik transaksional lainnya. IPK diambil dari hasil wawancara dari lebih dari 500 pengamat politik dan tokoh politik di Indonesia.
“Klientelisme berkembang subur di daerah di mana kontrol atas segenap kegiatan ekonomi sangat terkonsentrasi,” kata Ward.
Klientelisme berkembang subur di daerah di mana kontrol atas segenap kegiatan ekonomi sangat terkonsentrasi
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng memang menunjukkan nilai ekspor tertinggi di Kalteng adalah ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan batu bara. Dari total 15,3 juta hektar total luas wilayah administrasi Provinsi Kalteng, sebesar 78 persen atau 11,3 juta hektar wilayahnya sudah masuk dalam kawasan konsesi baik perkebunan maupun pertambangan juga Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Jumlah itu termasuk yang sudah beroprasi maupun belum.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono mengungkapkan, riset tersebut dilakukan pada saat pemberian izin pengelolaan sumber daya alam dikeluarkan di masa-masa menjelang pemilihan kepala daerah atau pasca pemilu. Sehingga politik transaksional diduga terjadi dalam membantu salah satu calon.
“Kota Palangkaraya, karena sebagai representasi Kalteng, memang penting untuk dimasukkan atau disiapkan calon yang dapat membantu menjaga kepentingan investasi yang sedang berjalan,” ungkap Dimas.
Dimas menambahkan, kepentingan investasi sangat berkaitan dengan kepentingan politik. Hal itu bisa saja terjadi pada Pemilu Serentak 2019 kali ini.
“Tetapi ada yang lebih menarik, kalau dulu pemilik modal atau investor hanya sebatas pemodal untuk politik, saat ini si pengusaha justru ikut bermain di politik. Ini terjadi demi kepentingan yang lebih besar dalam pengelolaan SDA,” kata Dimas.
Hal senada juga diungkapkan Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya Jhon Retei. Menurutnya, dalam buku tersebut menjelaskan bagaimana politik uang sangat bergantung pada diversifikasi ekonomi yang terbatas.
“Hal menarik lainnya adalah bagaimana desain sistem pemilihan memberikan kontribusi terhadap biaya politik yang tinggi, sehingga rekomendasinya adalah dengan merubah sistem tersebut, dari proposional terbuka ke proposional tertutup,” ungkap Jhon.