Pola Komunikasi Orangtua Jadi Tantangan di Era Digital
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pola komunikasi yang baik antara orangtua dan anak, terutama di usia remaja, dinilai semakin sulit dilakukan di era digital. Kemampuan yang terbatas dalam menggunakan media digital menjadi salah satu penyebabnya.
Peneliti Tim Remaja Kelompok Penelitian Keluarga Dan Kesehatan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agustina Situmorang, mengatakan, gap antara remaja dan orangtua dalam penggunaan media digital mempersulit orangtua menjalankan komunikasi dengan anak. Meski begitu, upaya signifikan belum dilakukan orangtua untuk memperbaiki pola komunikasi ini.
Interaksi remaja saat ini sudah banyak beralih ke media digital, sementara tidak banyak orangtua yang berusaha mengikutinya. Referensi anak pun lebih banyak didapat di internet.
"Sayangnya, penggunaan teknologi digital ini tidak disertai pengetahuan, norma, dan etika yang benar,” kata Agustina dalam diskusi bertajuk “Ada Apa dengan Remaja? Berkaca dari Kasus Perundungan di Era Digital” di Jakarta, Senin (15/4/2019).
Pentingnya pengetahuan dan norma bagi anak remaja di dunia digital berkaitan dengan jumlah pengguna internet yang didominasi remaja. Berdasarkan laporan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2017, sebanyak 75 persen pengguna internet berusia 13-18 tahun dari 143 juta pengguna.
Agustina berpendapat, panduan pola asuh yang baik bagi orangtua di era digital sebenarnya sudah banyak beredar. Berbagai program pun telah dijalankan banyak lembaga, baik dari pemerintah maupun nonpemerintah. Namun, program ini masih sporadis dan sifatnya tidak berkelanjutan.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati menambahkan, minimnya literasi digital juga pengawasan dalam penggunaan media digital membuat anak rentan mengalami kekerasan. Selain itu, anak pun lebih mudah melakukan kekerasan sesuai contoh dalam permainan digital yang dilihatnya.
Dalam literasi digital, elemen yang harus dimiliki seseorang, termasuk anak-anak antara lain, kultural atau pemahaman konteks pengguna media digital dan kognitif atau daya pikir dalam menilai konteks. Selain itu perlu juga elemen komunikatif atau memahami kinerja komunikasi digital, kritis dalam menyikapi konten, dan bertanggung jawab secara sosial.
“Literasi digital itu belum tentu diketahui orangtua, apalagi anak-anaknya. Orangtua hanya memberikan perangkat digital tanpa disertai bekal literasi yang kuat. Bukan konten positif dan manfaat yang diterima, justru konten negatif dan dampak buruk yang banyak diserap,” kata dia.
Peneliti Bidang Pendidikan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Anggi Afriansyah mengemukakan, secara konkret, orangtua harus memperhatikan bagaimana anak-anaknya menggunakan teknologi. Negosiasi dengan anak perlu dilakukan agar orangtua tahu aktivitas yang dilakukan anak di dunia digital.
Orangtua harus memperhatikan bagaimana anak-anaknya menggunakan teknologi. Negosiasi dengan anak perlu dilakukan agar orangtua tahu aktivitas yang dilakukan anak di dunia digital.
Pendidikan digital yang diberikan pada anak sangat penting agar anak tahu diri dan bisa menempatkan diri ketika berada di situasi tertentu. Nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini diajarkan untuk menghadapi dunia nyata juga harus diberikan ketika anak berhadapan di dunia maya.
"Nilai ini membutuhan latihan praktis, bukan hanya tuntutan dan larangan saja," kata dia.
Menurut Rita, intervensi untuk meningkatkan perlindungan anak dari dampak buruk media digital harus dimulai pada lingkup masyarakat di tingkat dasar, yakni tingkat desa dan keluarga. Selama ini, program dan regulasi masih berkutat di tingkat pusat, sehingga implementasinya belum optimal sampai ke tingkat keluarga.
Penggunaan dana desa untuk program perlindungan anak bisa menjadi solusi yang bisa didorong. Isu perlindungan anak khususnya usia remaja belum menjadi isu prioritas dalam pengembangan sumber daya manusia.
Penggunaan dana desa untuk program perlindungan anak bisa menjadi solusi yang bisa didorong. Isu perlindungan anak khususnya usia remaja belum menjadi isu prioritas dalam pengembangan sumber daya manusia.
"Isu ibu dan anak, serta orang lanjut usia masih mendominasi. Hal ini perlu menjadi perhatian berbagai pihak karena kualitas remaja, baik fisik maupun psikis sangat menentukan masa depan bangsa pada 10 tahun mendatang," kata dia.