Kesenjangan Pembangunan Manusia Antardaerah Masih Perlu Diperbaiki
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Indeks pembangunan manusia atau IPM pada 2018 meningkat. Namun di sisi lain, masih ada yang perlu menjadi catatan, terutama untuk mengatasi kesenjangan pembangunan manusia antardaerah, khususnya di Indonesia bagian timur.
Badan Pusat Statistik menyebutkan, IPM nasional pada 2018 sebesar 71,39. Angka ini meningkat 0,82 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Jika ditilik per provinsi, DKI Jakarta meraih IPM tertinggi sebesar 80,47, sedangkan IPM terendah dicapai Papua, yakni sebesar 60,06.
BPS menggolongkan IPM sebesar 71,39 itu termasuk dalam kategori tinggi. Selain itu, pada 2018 tak ada lagi provinsi yang berada di kategori rendah atau dengan IPM di bawah 60.
Khusus Indonesia bagian timur, ada perbaikan yang ditunjukkan dalam tingkat pertumbuhan IPM tercepat dibandingkan provinsi lainnya. Provinsi-provinsi itu meliputi, Provinsi Papua (1,64 persen), Provinsi Sulawesi Barat (1,24 persen), dan Provinsi Papua Barat (1,19 persen).
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, mengatakan, perbaikan itu merupakan salah satu dampak pembangunan infrastruktur secara nasional. Pembangunan infrastruktur itu dinilai tepat karena menjadi fondasi pembangunan manusia pada 2019.
"Angka ini menunjukkan pembangunan manusia nasional berada di jalan yang tepat. Pencapaiannya pun tergolong bagus," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/4/2019).
BPS juga mencatat, disparitas atau kesenjangan IPM antar kabupaten/kota masih tinggi. Kota dengan IPM tertitnggi saat ini adalah Yogyakarta (66,1), sedangkan IPM terendah adalah Kabupaten Nduga, Papua (29,4).
Dari sisi provinsi, IPM DKI Jakarta paling tinggi, yaitu sebesar 80,47. Adapun IPM Papua paling rendah, yaitu 60,06.
Suhariyanto mengemukakan, untuk mengatasi kesenjangan IPM tersebut, pemerintah pusat perlu memberikan stimulus jaring pengaman sosial secara tepat sasaran. "Namun, pemerintah daerah mesti hadir karena paling paham dengan karakteristik kebutuhan daerahnya masing-masing," ujarnya.
BPS mendata, terdapat 29 kabupaten/kota yang tergolong dalam kategori IPM sangat tinggi dan 163 kabupaten/kota yang masuk dalam kelompok kategori IPM tinggi. Namun, jumlah yang masuk dalam kategori IPM sedang sebanyak 296 kabupaten/kota dan kategori IPM rendah sebanyak 26 kabupaten/kota. Artinya, IPM mayoritas daerah masih di bawah angka IPM nasional.
Kesenjangan pembangunan manusia juga digarisbawahi oleh Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Akhmad Akbar Susamto. Menurutnya, hal ini turut berdampak pada rendahnya peringkat IPM Indonesia 2017 yang dirilis oleh UNDP, yakni ranking 116 dari 189 negara.
"Pemerintah perlu memperbaiki kesenjangan di tingkat daerah. Adanya kesenjangan menunjukkan tidak meratanya perbaikan pembangunan manusia di antara masyarakat," kata Akhmad.
Pemerintah perlu memperbaiki kesenjangan di tingkat daerah. Adanya kesenjangan menunjukkan tidak meratanya perbaikan pembangunan manusia di antara masyarakat.
Pernikahan dini
Selain kesenjangan, pernikahan dini juga menjadi catatan dalam perbaikan IPM nasional. BPS menunjukkan, angka pernikahan dini menunjukkan gejala peningkatan.
Salah satu aspek yang diperhitungkan dalam IPM ialah kesehatan. Dalam aspek kesehatan, Suhariyanto menyatakan, tingkat kematian bayi saat lahir menjadi salah satu indikator yang diperhitungkan.
Akibat kenaikan angka pernikahan dini, potensi kematian bayi saat lahir meningkat. "Hal ini disebabkan, bayi tersebut lahir dari perempuan yang belum siap secara fisik, mental, psikologis, dan ekonomi untuk mengandung," kata dia.
Capaian IPM terbentuk dari indikator umur harapan hidup saat lahir, harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran tahunan per kapita. BPS mencatat, umur harapan hidup saat lahir pada 2018 meningkat 0,19 persen menjadi 71,20 tahun.
Indikator rata-rata lama sekolah merupakan angka lamanya waktu (dalam satuan tahun) yang telah atau sedang dijalani oleh penduduk berusia 25 tahun ke atas dalam mengenyam pendidikan formal. Pada tahun 2018, angkanya tumbuh 0,86 persen menjadi 8,17 tahun.
Definisi harapan lama sekolah adalah angka lamanya waktu (dalam satuan tahun) yang diharapkan oleh anak pada usia 7 tahun untuk menjalani sekolah formal di masa mendatang. BPS mencatat, angka indikator ini meningkat 0,47 persen pada 2018 menjadi 12,91 tahun.
Dari segi pendidikan tersebut, Suhariyanto berpendapat, pemerintah mesti mendongkrak partisipasi pendidikan masyarakat. "Tingkat partisipasi di jenjang SMP (Sekolah Menengah Pertama) lebih rendah dari SD (Sekolah Dasar) dan tingkat partisipasi di jenjang SMA/SMK (Sekolah Menengah Atas/Kejuruan) lebih rendah dari SMP," tuturnya.
Sementara itu, indikator pengeluaran per kapita per tahun meningkat 3,7 persen pada 2018 menjadi Rp 11,059 juta. Untuk menjaga indikator ini, Suhariyanto berpendapat, pemerintah harus menjaga daya beli masyarakat.