Tingkatkan Rasio Pajak, Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi Beda Strategi
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedua calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo-Ma’ruf Amin ataupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, memiliki pandangan berbeda dalam strategi peningkatan rasio pajak. Jokowi-Amin menekankan pentingnya perluasan basis pajak, sementara Prabowo-Sandi menawarkan penurunan tarif pajak.
Perbedaan pandangan ini terlihat saat sesi keuangan dan investasi dalam debat kelima Pemilu Presiden 2019 bertema “ekonomi, kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi, perdagangan dan industri” di Jakarta, Sabtu (13/4/2019).
Dalam segmen tersebut, Jokowi-Amin menyoroti, upaya peningkatan rasio pajak harus dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan guncangan ekonomi. Sebab, semakin agresif rasio pajak dinaikkan berarti pajak yang ditarik semakin besar.
“Kalau dalam setahun rasio pajak dinaikkan dari 10 persen menjadi 16 persen itu sangat drastis. Berarti akan ada 5 persen dari produk domesik bruto (PDB) atau sekitar Rp 750 tahun yang akan ditarik,” kata Jokowi.
Bagi Prabowo-Sandi, peningkatan rasio pajak bisa ditempuh melalui pemotongan pajak pekerja. Tarif pajak perorangan dikurangi dengan meningkatkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penurunan pajak perorangan akan dilanjutkan dengan penurunan pajak korporasi.
“Tujuannya agar (tarif pajak) bisa bersaing dengan negara lain untuk menarik investasi dan meningkatkan lapangan kerja,” kata Sandi.
Rasio pajak adalah perbandingan antara penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) nominal. Rasio pajak mengukur kemampuan negara untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan negara dengan pajak.
Rasio pajak tercatat terus menurun. Mengutip data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, rasio pajak Indonesia sempat 14 persen dari PDB tahun 2012. Namun, rasio ini turun menjadi 13,6 persen dan 13,1 persen pada 2013 dan 2014, masa akhir dari ledakan harga komoditas.
Pada tahun-tahun berikutnya menjadi 11,6 persen (2015), 10,8 persen (2016), dan 10,8 persen (2017). Adapun pada 2018 sebesar 11,5 persen, sementara target APBN 2019 adalah 12,2 persen.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, peningkatan rasio pajak dilakukan dengan memperbaiki sistem perpajakan. Untuk itu, dibutuh peta jalan dan strategi yang tepat.
“Pengambilan keputusan harus diperhitungkan berbagai aspek agar tidak berpotensi menciptakan ketidakadilan baru,” kata Yustinus.
Meski bukan satu-satunya indikator, lanjut Yustinus, peningkatan rasio pajak penting untuk mendorong penerimaan negara lebih tinggi. Pajak, yang berkontribusi 74 persen terhadap total pendapatan negara, menjadi nadi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi
Jokowi-Amin berpandangan, selama 4,5 tahun pemerintah sudah berupaya mendorong pertumbuhan yang dibarengi pemerataan ekonomi. Ketimpangan antar wilayah berupaya diperkecil dengan membangun infrastruktur dan pusat-pusat ekonomi diluar Jawa.
“Kami bangun infrastruktur tidak Jawa sentris, tetapi Indonesia sentris. Kemandirian penting,” kata Jokowi.
Adapun Prabowo-Sandi menyatakan, pertumbuhan ekonomi belum dirasakan secara merata oleh rakyat Indonesia. Ekonomi yang tumbuh mesti dibarengi keterjangkauan harga kebutuhan pokok dan peningkatan jumlah lapangan kerja.
“Arah salah, kalau diteruskan tidak akan memungkinkan membawa kesejahteraan yang sebenarnya bagi bangsa indonesia,” kata Prabowo.
Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpendapat, akselerasi pertumbuhan ekonomi menjadi tantangan dalam jangka menengah dan panjang. Jika pertumbuhan ekonomi terus tertahan di level 5 persen, maka RI dipastikan akan masuk dalam jebakan kelas menengah.
“Indonesia sudah menghabiskan waktu 23 tahun berada di kelompok negara berpendapatan menengah-bawah. Kalau pertumbuhan ekonomi tidak terakselerasi, kita akan lebih lama dari 23 tahun berada di kelompok pendapatan menengah-atas,” kata Faisal.
Untuk menghindari itu, lanjut Faisal, pertumbuhan ekonomi paling tidak harus ada di kisaran 7 persen per tahun. Target itu sangat mungkin tercapai dan harus segera diupayakan pada saat masih menikmati bonus demografi. Produktivitas penduduk muda, yang jumlahnya terus meningkat, mesti didorong agar ekonomi bergeliat.
Bappenas memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020-2024 berkisar 5,4-5,7 persen. Perekonomian bisa tumbuh 6 persen jika pertumbuhan sektor manufaktur di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Tanpa mengembangkan industri pengolahan, upaya mendorong pertumbuhan ekonomi semakin berat.