Konflik gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di ekosistem Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Hutan Lindung Kota Agung Utara dengan masyarakat kian mengkhawatirkan. Keselamatan nyawa kedua pihak semakin terancam.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
TANGGAMUS, KOMPAS - Konflik gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di ekosistem Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Hutan Lindung Kota Agung Utara dengan masyarakat kian mengkhawatirkan. Keselamatan nyawa kedua pihak semakin terancam.
Konflik antara gajah dan warga di Tanggamus sudah berlangsung lebih dari dua tahun. Gajah kerap merusak tanaman pisang milik warga di kawasan Hutan Lindung Kota Agung Utara, Kecamatan Bandar Negeri Semoung, Tanggamus. Konflik juga meluas ke Kecamatan Semaka. Hingga kini, konflik yang berlarut ini telah menewaskan 3 warga.
Berdasarkan pantauan Kompas, Sabtu – Minggu (13-14/4/2019), kawasan Hutan Lindung Kota Agung Utara, Register 39, banyak ditanami kopi. Sebagian warga juga menanam pisang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Selain ditanami tanaman perkebunan, warga juga membangun rumah. Selain itu, terdapat pula sejumlah fasilitas, seperti tempat ibadah dan sekolah. Sebagian petani yang menanam kopi di kawasan itu telah mendapatkan izin pemanfaatan hutan melalui skema perhutanan sosial. Namun, ada juga sebagian petani yang masih ilegal.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan Lestari Jastra menuturkan, sebagian petani penggarap sudah menetap di hutan sejak tahun 1980-an. Mereka merupakan petani yang meneruskan usaha menanam kopi warisan orangtuanya. Di kelompoknya yang bermukim di Blok 3, sudah ada 171 warga yang mendapat izin pemanfaatan hutan. Setiap keluarga mendapat jatah mengelola lahan seluas 4 hektar.
Menurut dia, saat ini warga masih khawatir dengan ancaman komplotan gajah liar berjumlah 12 ekor yang kerap merusak tanaman. “Warga resah karena tanaman pisang mereka dirusak saat hendak panen,” ujar Jastra.
Setiap bulan, warga bergantian menggiring gajah yang masuk ke lahan yang mereka kelola. Penggiringan gajah dari kasawan hutan lindung ke taman nasional menguras tenaga karena dapat berlangsung selama berhari-hari.
“Saya pernah empat hari menggiring gajah. Selain lahan yang berbukit, kami juga terkendala alat komunikasi,” ujar Toni Hidayat (36), salah petani penggarap lahan.
Warga berharap, pemerintah membantu peralatan komunikasi berupa handy talky. Pasalnya, warga kesulitan mendapat sinyal untuk berkomunikasi menggunakan telepon genggam.
Petugas lapangan dari WWF Indonesia Rodiansah, yang kerap membantu warga menggiring gajah, menceritakan, sebagian warga masih menganggap gajah sebagai hama yang menganggu tanaman mereka. Warga yang bermukim di Blok lain pernah melempari gajah dengan bola api sehingga melukai gajah. Hal itu dilakukan karena warga merasa terancam dan marah. Namun, perbuatan itu membuat perilaku gajah menjadi lebih agresif. Akibatnya, gajah semakin sulit diusir dan mudah menyerang warga.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Kota Agung Utara Zulhaidir mengatakan, pemerintah telah membangun lima pos pantau gajah untuk membantu menangani konflik. Selain itu, pemerintah bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat meningkatkan kapasitas warga melalui pendampingan.
Dia menambahkan, pemerintah juga mengupayakan rekayasa habitat gajah untuk menekan konflik. Caranya, menanam tanaman pakan gajah, seperti rumput gajah dan pisang di area di dekat perbatasan antara hutan lindung dan taman nasional.
Warga juga perlu menanam tanaman sereh wangi untuk menghalau gajah. Aroma sereh tidak disukai gajah sehingga gajah menjauh dengan sendirinya. Dengan upaya itu, gajah mencari makanan di area itu dan tidak mendekat ke perkebunan warga. Selain itu, pemerintah juga akan rehabilitasi lahan seluas 3.000 hektar di zona inti hutan lindung.
"Langkah-langkah itu diharapkan dapat meminimalisir gajah merusak tanaman warga. Kami berupaya menyelamatkan keduanya," ujar Zulhaidir.
Project Leader WWF Indonesia Regional Sumatera Bagian Selatan Yob Charles menuturkan, berdasarkan hasil observasi tim WWF, ruang jelajah 12 ekor gajah liar tersebut mencapai 14.000 hektar dalam setahun terakhir. Gajah liar menjadi bergantung pada pisang, jagung, nangka yang tersedia di hutan lindung. Kondisi habitat yang telah berubah juga membuat pola dan perilaku gajah dalam mencari makan berubah.
”Gajah jadi senang dengan jenis makanan baru, seperti pisang, jagung, dan beras. Di dalam hutan, gajah biasanya mengonsumsi kulit kayu atau tanaman tepus,” kata Yob.