Jaga Gairah Bisnis di RI
JAKARTA, KOMPAS
Pertumbuhan ekonomi global yang diproyeksi melambat pada tahun ini akan menyeret sektor riil. Iklim bisnis dan investasi berpotensi ikut menjadi lesu.
Oleh karena itu, langkah-langkah mesti disiapkan pemerintah agar bisnis di Indonesia dapat terus bergairah.
“Secara umum bisnis tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Ekonomi akan sulit tumbuh maksimal kalau bisnis dan dunia usaha tidak maju dengan pesat,” ujar pengajar Unika Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, Jumat (12/4/2019), di Jakarta.
Dana Moneter Internasional (IMF), April 2019, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini 3,3 persen. Angka ini merevisi proyeksi pada Januari 2019 yang sebesar 3,5 persen dan pada Oktober 2018 yakni 3,7 persen.
Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi RI tahun ini tetap, yakni 5,2 persen.
Secara terpisah, Executive Vice President Schroders Investment Management Indonesia, Renny Raharja, menyampaikan, keyakinan pemerintah Indonesia merealisasikan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen menggugah selera investor masuk ke pasar saham.
“Meskipun pertumbuhan ekonomi global melambat, namun kondisi fundamen Indonesia cukup solid. Stabilitas ekonomi yang terjaga mendorong pertumbuhan laba emiten kondusif,” ujar Renny.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Jumat ditutup di posisi 6.405,866. Sejak awal tahun ini, IHSG menguat 3,41 persen.
Modal asing
Perihal aliran modal, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menyampaikan, arus modal asing tidak akan serta-merta masuk ke semua negara. Aliran modal hanya akan masuk ke negara-negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi kuat.
”Pada pasar saham dan obligasi masih terjadi arus modal asing masuk, artinya investor melihat outlook Indonesia masih positif, baik dari inflasi, nilai tukar, maupun defisit transaksi berjalan,” katanya, Jumat.
Mirza mencontohkan, hingga pekan kedua April 2019, lelang surat berharga negara (SBN) terus mengalami kelebihan permintaan. Sejak 1 Januari 2019 hingga Kamis (11/4/2019), total dana asing yang masuk ke pasar SBN mencapai Rp 75 triliun.
Sementara, di pasar saham, pada periode yang sama, investor asing membukukan beli bersih Rp 15,9 triliun. Pada periode yang sama 2018, investor asing justru mencatatkan aksi jual Rp 24,9 triliun.
”Persepsi investor terhadap Indonesia masih positif pada 2019, tentu didorong nilai tukar dan inflasi terkendali. Dari sisi angka makro, investor juga menilai defisit transaksi berjalan terkendali,” ujar Mirza.
Berdasarkan data transaksi finansial pada Neraca Pembayaran Indonesia yang dirilis BI, investasi langsung pada 2018 surplus 13,841 miliar dollar AS. Angka ini lebih kecil dari surplus pada 2017, yakni 18,502 miliar dollar AS.
Sementara, portofolio pada 2018 surplus 18,502 miliar dollar AS, lebih kecil dari 2017 yang surplus 21,059 miliar dollar AS.
Pada 2018, surplus transaksi modal dan finansial tidak berhasil menutup transaksi berjalan yang defisit 31,06 miliar dollar AS. Akibatnya, neraca pembayaran defisit 7,131 miliar dollar AS.
Keterbukaan
Pengajar ekonomi Universitas Indonesia, Febrio Kacaribu, berpendapat, gejolak nilai tukar dan defisit transaksi berjalan masih akan terus membayangi selama kondisi perekonomian RI belum sepenuhnya terbuka.
Nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Jumat, sebesar Rp 14.153 per dollar AS.
Data Bank Dunia 2017 menunjukkan, keterbukaan ekonomi -yang dilihat dari rasio perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB)- Indonesia sebesar 40 persen. Rasio ini di bawah negara tetangga, seperti Malaysia (136 persen) dan Thailand (123 persen).
”Untuk meningkatkan keterbukaan ekonomi, Indonesia juga perlu meningkatkan investasi asing secara langsung. Pasalnya, semakin kecil arus modal atau investasi uang masuk, perputaran ekonomi juga akan menipis,” kata Febrio
Selain itu, Febrio menilai, dibutuhkan upaya ekstra agar dana asing yang masuk dapat bertahan lama. Pemerintah perlu menahan investasi portofolio di pasar keuangan, salah satunya melalui pemberian insentif. (DIM)