Di Wilayah Ini Kaum Milenial Ditantang Politikus Tua
Dalam Pemilu 2019, pertarungan politik paling kompetitif antara kaum muda milenial dan politikus generasi tua bakal terjadi di 11 daerah pemilihan. Di wilayah mana kaum muda milenial berpeluang mendobrak oligarki politik kaum tua?
Dengan mengkaji besaran proporsi jumlah calon anggota legislatif yang akan bertarung dalam perebutan kursi DPR di 80 daerah pemilihan di seluruh Indonesia, eksistensi politik kaum muda milenial memang tidak dominan. Dari 4.981 calon anggota legislatif beridentitas lengkap, teridentifikasi hanya 1.415 calon anggota legislatif masuk kelompok milenial. Jumlah tersebut tidak sampai sepertiga saja (28,4 persen).
Bagian terbesar dipenuhi para politisi kalangan generasi sebelumnya, berusia di atas 40 tahun. Bahkan, jika dirinci lebih jauh, para politikus ”generasi tua”, berusia di atas 50 tahun tergolong paling besar, mencapai 37,1 persen. Itulah mengapa, ketertinggalan dari sisi kuantitas yang sangat signifikan tersebut cenderung mengecilkan peluang kaum muda milenial dalam perebutan ruang kontestasi politik nasional.
Akan tetapi, dari seluruh daerah pemilihan, tidak semua proporsi ketertinggalan kaum muda milenial terjadi. Pada 11 daerah pemilihan berikut kaum muda milenial justru mampu mengimbangi proporsi kaum politikus generasi tua. Selisih jumlah di antara kedua generasi tersebut di bawah 5 persen, sekaligus menempatkan setiap daerah tersebut sebagai wilayah pertarungan paling kompetitif di antara kedua generasi politik.
Dari 11 dapil paling kompetitif, terdapat empat wilayah yang justru dikuasai oleh kaum muda milenial dengan selisih tipis. Dapil Aceh 2, Jateng 2, Jatim 9, dan Jatim 10 lebih banyak dipenuhi oleh calon anggota legislatif milenial.
Namun, pada enam dapil, yaitu Bali, Jabar 8, Jateng 6, Jateng 9, Jatim 7, dan NTB 2, proporsi kaum politikus tua lebih banyak. Hanya di Banten 2 porsi penguasaan kedua generasi tersebut sama besar.
Dari segi jumlah, pada ke-11 dapil tersebut memang kedua generasi tergolong sama banyak. Akan tetapi, yang menjadi persoalan selanjutnya, di antara mereka siapakah yang paling berpeluang memenangi pertarungan di setiap daerah tersebut?
Sekalipun di beberapa wilayah sudah tampak keunggulan jumlah generasi milenial, tidak berarti secara otomatis kursi DPR di daerah tersebut akan dikuasai oleh kaum milenial. Begitu juga sebaliknya, sekalipun proporsi jumlah calon anggota legislatif milenial di bawah besaran kaum politikus tua, tidak berarti kursi DPR bakal menjadi milik kaum politikus tua.
Dalam kontestasi pemilu, seperti yang berlangsung pada era sebelumnya, besaran jumlah calon anggota legislatif bukan menjadi satu-satunya penentu kemenangan. Penguasaan pemilu oleh para calon anggota legislatif tampaknya juga ditentukan oleh besaran peluang kemenangan partai politik yang mengusungnya di daerah tersebut dan juga posisi calon anggota legislatif dalam urutan pencalonan oleh partai politik.
Dari sisi besaran peluang kemenangan partai politik, misalnya, sejarah pemilu di negeri ini kerap kali menunjukkan adanya wilayah yang selalu menjadi basis kemenangan suatu partai politik. Dengan mengacu pada sejarah kemenangan partai dan besaran suara yang berhasil diraih pada pemilu sebelumnya, dapat diprediksi peluang kemenangan partai pada setiap daerah pemilihan.
Artinya, semakin besar dan loyal suara yang berhasil diraih partai pada suatu daerah pemilihan, maka semakin besar peluang kemenangan pada pemilu kali ini.
Begitu pula dari sisi posisi calon anggota legislatif dalam daftar pencalonan partai. Hasil pemilu sebelumnya menunjukkan pola hubungan yang nyata bahwa peluang calon anggota legislatif yang berada di urutan pertama pencalonan partai akan lebih besar dibandingkan dengan urutan selanjutnya.
Dengan menggunakan kedua variabel determinan tersebut, peluang kemenangan kaum muda milenial dalam menghadapi kekuatan oligarkis kaum politikus tua dapat terpetakan.
Namun, hasil kajian ini menunjukkan peluang yang sangat berat bagi calon anggota legislatif dalam menguasai persaingan. Kajian terhadap wilayah kemenangan partai politik, misalnya, menunjukkan partai-partai pemenang pada dapil terkaji umumnya merupakan partai-partai yang relatif sedikit menempatkan kalangan milenial sebagai calon anggota legislatifnya.
Sekalipun partai-partai tersebut memberikan ruang terhadap para calon anggota legislatif milenial, dari sisi nomor urut pencalonan pada umumnya anggota legislatif milenial tersebut tidak ditempatkan sebagai nomor utama (nomor urut 1 dalam daftar calon tetap).
Pada dapil Aceh 2, misalnya, hanya terdapat satu calon dari PKB yang ditempatkan dalam nomor pencalonan 1. Pada dapil tersebut, mayoritas partai menempatkan calon berusia di atas 50 tahun dalam urutan nomor 1. Kondisi demikian mengecilkan peluang bagi kaum milenial untuk menguasai dapil ini, terlebih dalam sejarah pemilu PKB tidak mampu menjadi pemenang di wilayah ini.
Apa yang terjadi di Bali juga mirip. Sejarah pemilu menempatkan PDI-P, Golkar, dan Gerindra menjadi peraih suara terbanyak. Partai-partai tersebut juga dikenal minim mencalonkan kaum milenial. Pada pemilu kali ini, hanya PKS yang memberikan ruang pada calon legislatif milenial dalam posisi nomor pencalonan pertama. Padahal, PKS selama ini tidak pernah mampu meraih kursi dari dapil Bali.
Baca juga: Peluang Petarung Politik Perempuan Milenial
Pada dapil Banten 2, terdapat dua partai politik, yaitu PKB dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang mengalokasikan nomor urut pencalonan pertama pada kaum milenial. Akan tetapi, sejarah pemilu menunjukkan hanya Gerindra, Golkar, PAN, dan PDI-P yang tergolong mampu meraih suara signifikan. Dengan demikian, calon anggota legislatif milenial yang berasal dari PKB maupun PSI harus menghadapi kekuatan partai-partai tersebut.
Di dapil Jateng 2 yang meliputi Kudus, Jepara, dan Demak, juga terdapat dua calon anggota legislatif milenial dalam posisi pertama yang dicalonkan oleh PPP dan PAN. Dalam sejarah pemilu sebelumnya, wilayah ini menjadi basis kemenangan Golkar, PKB, dan PDI-P. Begitu pula di dapil Jateng 9, terdapat dua calon anggota legislatif milenial yang ditempatkan dalam nomor pertama oleh PSI dan PBB.
Pada dapil Jatim 7 dan Jatim 10 tidak berbeda jauh. Selain PSI yang konsisten menempatkan calon muda dalam posisi utama, terdapat beberapa partai lain yang juga menempatkan milenial. Namun jika dikaitkan dengan peluang partai tersebut meraih suara di kedua dapil ini tampak kecil. Oleh karena itu, banyaknya calon milenial yang dicalonkan pada posisi utama masih kurang memberikan jaminan kemenangan.
Kondisi yang bisa jadi berbeda pada beberapa dapil di bawah ini. Jumlah kalangan milenial dalam posisi utama pencalonan, misalnya, banyak terjadi di dapil Jateng 6, yang meliputi Purworejo, Wonosobo, Magelang, Temanggung, dan Kota Magelang. PSI, PAN, dan Gerindra menempatkan milenial dalam posisi utama. Merujuk pada hasil pemilu sebelumnya, di antara ketiga partai tersebut, hanya Gerindra yang mampu meraih suara signifikan pada dapil ini.
Pada dapil Jawa Barat 8, peluang calon anggota legislatif milenial juga cukup terbuka. Pasalnya, di wilayah yang meliputi Indramayu, Cirebon, dan Kota Cirebon tersebut kaum milenial dicalonkan oleh partai-partai besar dalam posisi pencalonan utama. Golkar, misalnya, mencalonkan Dave Akbarshah Fikarno, yang berusia 39 tahun. Begitu pula Gerindra mencalonkan Muhajidin Nur Hasim (34) sebagai calon nomor pertama.
Begitu pula di Jawa Timur 9, meliputi Bojonegoro dan Tuban. Setidaknya terdapat tiga calon anggota legislatif yang ditempatkan sebagai calon utama, baik oleh PSI, Perindo, dan PKB. Selain Perindo maupun PSI yang tergolong partai baru, calon PKB, Lukmanul Khakim (35), memiliki peluang lantaran sejarah pemilu menunjukkan di wilayah tersebut, partai ini mampu meraih suara signifikan sekaligus menjadi pemenang.
Berdasarkan kajian semacam ini, tampak hanya beberapa daerah pemilihan yang berpeluang meloloskan kaum milenial. Bagian terbesar masih menjadi penguasaan kaum politikus tua. Pertanyaan selanjutnya, dengan kondisi yang tergambar semacam ini, masih tersisakah peluang bagi kaum milenial?
Sekalipun tergolong kecil, besaran peluang kemenangan tentu saja belum tertutup. Terutama jika para calon anggota legislatif mampu memanfaatkan suara-suara dari kalangan mereka sendiri, sesama milenial. (LITBANG KOMPAS)