JAKARTA, KOMPAS — Prospek atau peluang sektor pertanian, terutama agrobisnis, kian membesar. Sebab, konsumsi pangan dan minyak nabati untuk energi diperkirakan terus meningkat.
Selain itu, teknologi informasi sangat mendukung pemasaran produk-produk makanan dan hortikultura. Oleh karena itu, sektor agrobisnis perlu dikelola secara lebih terintegrasi dari hulu sampai hilir.
Hal itu mengemuka dalam seminar nasional bertema ”Agrina Agribusiness Outlook 2019” yang diselenggarakan majalah Agrina di Jakarta, Kamis (11/4/2019).
”Ada dua fenomena yang perlu diperhatikan. Saya melihat banyak tumbuh restoran dan kafe kopi. Kondisi ini menjadi peluang dan membutuhkan produk. Siap atau tidak on farm agrobisnis melayani itu,” kata Bungaran Saragih, Ketua Dewan Redaksi Majalah Agrina.
Narasumber lain yang hadir dalam diskusi itu adalah Kepala Biro Perencanaan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Abdul Basit, Ekonom Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, serta Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Harmanto.
Seiring perkembangan agrobisnis, tambah Bungaran, sektor indusri lain, seperti pupuk, pestisida, benih, dan alat-alat pertanian, juga berkembang. ”Untuk itu, sektor agrobisnis perlu diintegrasikan,” katanya.
Ada dua fenomena yang perlu diperhatikan. Banyak tumbuh restoran dan kafe kopi. Kondisi ini menjadi peluang dan membutuhkan produk. Siap atau tidak on farm agrobisnis melayani itu. (Bungaran Saragih, Ketua Dewan Redaksi Majalah Agrina)
Menurut Bhima, permintaan bahan baku pangan akan terus meningkat. Selain jumlah penduduk yang bertambah, gaya hidup modern yang didukung perkembangan teknologi juga mendorong konsumsi pangan meningkat.
Sebagai gambaran, tambah Bhima, pesan antar makanan melalui aplikasi digital mampu menciptakan bisnis senilai Rp 27,6 triliun. Kalangan milenial diperkirakan menghabiskan Rp 50.000-Rp 150.000 untuk memesan makanan melalui aplikasi digital.
Bhima menambahkan, dalam pengembangan sektor pertanian, juga diperlukan inovasi produk hilir. Ia mencontohkan buah durian dengan berbagai varian produk makanan yang menjadi tren konsumi masyarakat, terutama di China.
Tantangan
Bhima menambahkan, selain pengembangan produksi produk pertanian, tantangan pada masa mendatang adalah mendorong generasi mileneal menekuni agrobisnis, dari hulu sampai hilir, dengan dukungan teknologi pertanian. Alasannya, kalangan petani saat ini berusia di atas 40 tahun sehingga perlu disiapkan juga generasi yang dapat mengembangkan produksi produk pertanian.
Abdul Basit menilai, minat anak muda dalam sektor pertanian cukup besar. Hal itu terlihat dari perkembangan jumlah siswa yang mendaftar ke politeknik pembangunan pertanian. Sebagai gambaran, pada 2014 jumlah pendaftar sebanyak 1.152 orang, lalu pada 2015 mencapai 1.511 orang. Pada 2016 jumlah pendaftar sebanyak 1.900 orang, meningkat menjadi 7.097 orang pada 2017 dan 13.111 orang pada 2018.
Menurut dia, Kementerian Pertanian mendorong peningkatan produksi pertanian dengan berbagai kebijakan dan program. Investasi di sektor pertanian sebesar Rp 61,6 triliun pada 2018 atau meningkat dibandingkan pada 2017 yang sebesar Rp 45,9 triliun. (FER)