JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia mendesak Pemerintah Australia turut bertanggung jawab menyelesaikan masalah tumpahan minyak Montara di Laut Timor yang dampaknya sampai ke perairan Indonesia. Apalagi dalam mengatasi kecelakaan di ladang minyak PTTEP itu Australia menggunakan senyawa penggumpal minyak yang beracun sehingga menyebabkan kematian sejumlah besar ikan besar dan kecil.
Selama ini, Pemerintah Australia dinilai tak menaruh perhatian serius terhadap masalah itu. Padahal, menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi Indonesia dan Australia, tiap negara bertanggung jawab melindungi laut dari pencemaran di perairannya dan perairan terdekat.
”Pemerintah Federal Australia harus bertanggung jawab dalam penyelesaian Petaka Pencemaran Laut Timor tahun 2009. Petaka memasuki tahun ke-10 tanpa penyelesaian yang jelas,” kata Purbaya Yudhi Sadewa, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim, Kamis (11/4/2019), di Jakarta.
Purbaya yang juga Ketua Task Force (Satuan Tugas) Montara—dibentuk pada Agustus 2018—bersama pakar hukum laut internasional Hasjim Djalal, Ferdi Tanoni (perwakilan masyarakat), serta sejumlah anggota tim Task Force pada 20-27 April 2019 menuju Canberra, Australia. Mereka ingin mengecek keseriusan Pemerintah Federal Australia dalam mendukung penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara yang mencapai 90.000 kilometer persegi tersebut.
Apalagi dalam penanganan minyak tersebut Pemerintah Australia dengan inisiatifnya melalui Australian Maritime Safety Authority (AMSA) menyemprotkan sejumlah besar bubuk kimia beracun jenis Coerexit 9772A dan lainnya. Langkah itu dapat menenggelamkan tumpahan minyak ke dasar Laut Timor, tetapi menyebabkan sejumlah besar ikan dan terumbu karang mati.
Selain itu, dari sisi kewenangan, Pemerintah Australia merupakan regulator ladang minyak dengan pengoperasian ditangani pihak swasta PT Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production (PTTEP) Australasia (Ashmore and Cartier) Pte Ltd.
Menurut Purbaya, Pemerintah Indonesia aktif berkomunikasi dengan Kedutaan Besar Australia di Indonesia dan meminta Australia juga membentuk satuan tugas. Tujuannya agar setiap satgas bisa saling berkoordinasi. Purbaya pun mengatakan, penyelesaian kasus ini akan amat mudah diselesaikan jika Pemerintah Australia mempunyai iktikad baik untuk bersama Pemerintah Republik Indonesia mencari penyelesaiannya.
Untuk memaksa keseriusan Australia itu, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman RI pun meminta Sekretaris Kabinet menyampaikan kepada menteri/kepala lembaga yang bekerja sama dengan Australia agar turut mendorong Pemerintah Australia mengutamakan penyelesaian kasus Montara. ”Jadi tidak ada kerja sama tanpa mengindahkan penyelesaian kasus ini. Bagaimana mau kerja sama kalau kasus yang ada tidak dibereskan,” katanya.
Jadi tidak ada kerja sama tanpa mengindahkan penyelesaian kasus ini. Bagaimana mau kerja sama kalau kasus yang ada tak dibereskan.
Menambah bukti
Selain melobi Pemerintah Australia, Indonesia juga mengumpulkan barang bukti untuk membawa kasus ini ke ranah hukum. Dalam dua bulan ke depan, hasil tes yang diperiksa Lemigas akan terbit, yang menambah barang bukti di pengadilan mendatang.
Selama ini, diakuinya, terdapat celah kelemahan dalam pembiayaan analisis dan penanganan sampel barang bukti. Akibatnya, dari 31 sampel yang dibutuhkan, hanya 11 sampel yang dicek saat biaya hanya dibebankan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Saat ini, Purbaya memastikan satgas yang terdiri atas lintas kementerian yang dipimpinnya itu akan bersinergi dalam pembiayaan sampel. ”Saya kira tidak sulit, KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) punya negara, Lemigas juga punya negara. Ini (pembiayaan) harusnya masalah kecil,” katanya.
Sebagaimana diberitakan, pada 2017 KLHK mengajukan gugatan senilai Rp 27,5 triliun kepada PTTEP melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, gugatan ini kemudian dicabut KLHK dengan alasan kesalahan penulisan nama dan alamat penggugat.
Di Australia, gugatan class action Ferdi Tanoni, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat mewakili masyarakat terdampak tumpahan minyak Montara, masih berproses. Ia mengatakan, pada 8 Mei 2019 pengadilan akan mempertemukan PTTEP dan masyarakat untuk bernegosiasi.
”Kalau tidak selesai, ya, diputuskan (pengadilan) pada bulan Juli,” katanya yang juga Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Pencemaran Laut Timor.
Purbaya menegaskan, putusan di Australia bisa digunakan Pemerintah Indonesia untuk menambah bukti saat melakukan gugatan kepada PTTEP. Karena itu, langkah hukum Pemerintah Indonesia akan menunggu hasil class action di Australia.