Ekonomi Global Lesu, Arus Masuk Investasi Perlu Dijaga
Di saat proyeksi ekonomi global terus terkoreksi, arus dana asing yang masuk ke pasar portofolio domestik tetap berlanjut. Aliran dana masuk menunjukkan persepsi investor terhadap inflasi dan nilai tukar lebih baik dari tahun lalu.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saat proyeksi ekonomi global terus terkoreksi, arus dana asing yang masuk ke pasar portofolio domestik tetap berlanjut. Aliran dana masuk menunjukkan persepsi investor terhadap inflasi dan nilai tukar lebih baik jika dibandingkan tahun lalu. Tren ini hendaknya tetap dijaga oleh pemerintah.
Untuk kedua kalinya, Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019. Awal pekan ini, IMF memperkirakan perekonomian dunia 2019 sebesar 3,3 persen.
Proyeksi ini menurun dibandingkan dengan Januari lalu sebesar 3,5 persen. Padahal, akhir tahun lalu, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2019 mencapai 3,6 persen.
Di tengah perlambatan ekonomi dunia, arus dana asing justru terus menyasar negara-negara berkembang. Dampak perlambatan ekonomi global pun mendorong pertumbuhan likuiditas di negara berkembang.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengingatkan, arus modal asing tidak akan serta-merta masuk ke semua negara. Aliran modal hanya akan masuk ke negara yang memiliki pertumbuhan kuat.
”Pada pasar saham dan obligasi masih terjadi inflow (arus modal asing masuk), artinya investor melihat outlook Indonesia masih positif, baik dari inflasi, nilai tukar, maupun defisit transaksi berjalan,” kata Mirza di Kompleks Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (12/4/2019).
Dia mencontohkan, hingga minggu kedua April 2019, lelang surat berharga negara (SBN) terus mengalami kelebihan permintaan (over subscribe). Sejak 1 Januari 2019 hingga Kamis (11/4/2019), total nilai dana asing yang masuk ke pasar SBN Rp 75 triliun.
Sementara di pasar saham, sepanjang periode waktu yang sama, investor asing mencatatkan aksi beli bersih sebesar Rp 15,9 triliun. Jika dibandingkan dengan periode waktu yang sama tahun 2018, investor asing justru mencatatkan aksi jual Rp 24,9 triliun.
”Persepsi investor terhadap Indonesia masih positif di 2019, tentu yang didorong nilai tukar dan inflasi terkendali. Dari sisi angka makro, investor juga menilai defisit transaksi berjalan terkendali,” ujar Mirza.
Keterbukaan ekonomi
Ekonom Universitas Indonesia, Febrio Kacaribu, berpendapat, gejolak nilai tukar dan defisit transaksi berjalan masih akan terus membayangi perekonomian Indonesia selama ekonomi Tanah Air belum sepenuhnya terbuka.
Berdasarkan data Bank Dunia 2017, keterbukaan ekonomi yang dilihat dari rasio perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia baru sebesar 40 persen. Rasio ini masih jauh di bawah sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia (136 persen) dan Thailand (123 persen).
”Untuk meningkatkan keterbukaan ekonomi, Indonesia juga perlu meningkatkan investasi asing secara langsung. Pasalnya, semakin kecil arus modal atau investasi uang masuk, perputaran ekonomi juga akan menipis,” kata Febrio
Selain itu, Febrio menilai, dibutuhkan upaya ekstra agar dana asing yang masuk dapat bertahan lama. Pemerintah perlu berupaya menahan laju keluar investasi portofolio di pasar keuangan, salah satunya dengan memberi insentif yang dikenal dengan sebutan reverse tobin tax.
”Insentif tersebut sedang dikaji pemerintah. Jadi, nanti saat negara maju seperti Amerika Serikat (AS) menawarkan suku bunga tinggi, pemilik dana portofolio tidak akan serta-merta menarik dana mereka dari Indonesia,” ujarnya.