WASHINGTON, KAMIS — Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan potensi perlambatan ekonomi global bisa lebih tajam. Salah satu faktor yang memengaruhi adalah peningkatan utang pemerintah dan korporasi, serta kenaikan penyaluran kredit berisiko.
Kepala Departemen Moneter dan Pasar Modal IMF Tobias Adrian dalam konferensi pers di Washington, AS, Kamis (11/4/2019) mengatakan, negara-negara di dunia akan menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan kebutuhan dan memperketat pengawasan sektor keuangan dalam situasi pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
Laporan Stabilitas Keuangan Global, yang dirilis dalam pertemuan musim semi IMF-Bank Dunia di Washington, AS, menyebutkan, kerentatan ekonomi meningkat di hampir semua negara maju dan berkembang. Situasi bisa lebih buruk jika perlambatan ekonomi semakin tajam dan The Federal Reserve kembali meningkatkan suku bunga acuan.
IMF kembali merevisi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 menjadi 3,3 persen. Dalam enam bulan terakhir, IMF telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi sebanyak 3 kali.
Sebelumnya, dalam proyeksi ekonomi yang dirilis Oktober 2018, di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia, di Bali, perekonomian dunia diperkirakan tumbuh 3,7 persen pada 2019.
Kerentatan ekonomi meningkat di hampir semua negara maju dan berkembang. Situasi bisa lebih buruk jika perlambatan ekonomi semakin tajam dan The Federal Reserve kembali meningkatkan suku bunga acuan.
IMF menyebutkan, ada tiga faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi global kembali direvisi ke bawah, yaitu ketidakpastian negosiasi perang dagang AS-China, dampak kenaikan suku bunga The Federal Reserve (The Fed), dan harga minyak dunia.
“Ketegangan perdagangan yang cukup intensif dan ketidakpastian Brexit dinilai merusak kepercayaan investor,” ujar Tobias.
IMF secara spesifik menyoroti penumpukan utang pemerintah dan korporasi di negara maju dan berkembang. Di AS, misalnya, rasio utang korporasi terhadap produk domestik bruto (PDB) telah menyentuh rekor tertinggi. Adapun di beberapa negara Eropa, perbankan mulai terbebani obligasi pemerintah.
Fabio Natalucci, Wakil Kepala Departemen Moneter dan Pasar Modal IMF, menambahkan, selain peningkatan utang, saat ini muncul tanda-tanda penurunan kualitas kredit dan standar penjaminan emisi. Pemerintah mesti memfokuskan pengawasan terhadap perbankan untuk mencegah perilaku berisiko.
IMF mendesak negara-negara untuk mengambil langkah proaktif, antara lain dengan membatasi jumlah kredit berisiko, meningkatkan simpanan perbankan, dan menurunkan utang pemerintah. Khusus untuk China, pemerintah diminta menindak tegas pemberi pinjaman ilegal non-bank.
Sebelumnya, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporan bertajuk ”Risk Rising in Corporate Debt Market” menyebutkan, dalam kurun waktu 2008-2018, penerbitan obligasi korporasi di pasar global mencapai rata-rata 1,7 triliun dollar AS per tahun, sementara sebelum krisis keuangan tahun 2008 sekitar 864 miliar dollar AS per tahun.
Sementara penerbitan obligasi korporasi di pasar negara-negara berkembang, yang digerakkan oleh pertumbuhan ekonomi China, mencapai total 2,78 triliun dollar AS tahun 2018 atau meningkat 395 persen dibandingkan satu dekade lalu. China pernah menduduki peringkat kedua yang menerbitkan obligasi korporasi tertinggi di dunia, sekitar 590 miliar dollar AS tahun 2016. (AFP/BLOOMBERG)