JAKARTA, KOMPAS — Perdagangan dan investasi didorong lebih terbuka untuk memperkecil risiko perlambatan ekonomi global. Untuk itu, persoalan utama dalam kemudahan berusaha mesti segera diselesaikan.
Dana Moneter Internasional (IMF) kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 menjadi 3,3 persen. Dalam enam bulan terakhir, IMF telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi sebanyak 3 kali.
Perlambatan ekonomi berdampak terhadap kinerja perdagangan global. Pertumbuhan volume perdagangan barang dan jasa tahun 2019 diproyeksikan melambat menjadi 3,4 persen. Perlambatan itu cukup tajam dari pertumbuhan tahun 2018, yakni 3,8 persen.
Kepala Peneliti Makroekonomi dan Finansial Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, pertumbuhan ekonomi global yang melambat akan berdampak pada kinerja ekspor Indonesia. Situasi itu mesti diwaspadai dengan mendorong keterbukaan ekonomi.
”Harus diakui, perdagangan dan investasi di Indonesia masih sangat tertutup. Risiko memiliki ekonomi yang tertutup akan jauh lebih besar dibandingkan dengan ekonomi terbuka,” kata Febrio dalam seminar bertema proyeksi ekonomi Asia Tenggara, China, dan India pada tahun 2019 di Jakarta, Kamis (11/4/2019).
Menurut Febrio, rendahnya rasio perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi salah satu indikator yang mencerminkan ekonomi Indonesia masih tertutup. Dari catatan Bank Dunia, rasio perdagangan Indonesia hanya 40 persen PDB, sementara Malaysia 136 persen PDB, Vietnam 200 persen PDB, dan Thailand 123 persen PDB.
Rendahnya rasio perdagangan terhadap PDB antara lain dipengaruhi investasi berorientasi ekspor yang minim. Selama ini investasi menyasar pangsa pasar dalam negeri karena jumlah penduduk Indonesia yang besar. Di sisi lain, Indonesia juga terlambat masuk rantai pasok global, padahal Vietnam sudah mulai merintis sejak 10 tahun lalu.
”Kita ini tidak punya uang sehingga pola pikir mesti diubah. Bukan membatasi investasi, melainkan membuka lebih banyak untuk sektor swasta,” kata Febrio.
Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi tahun 2018 sebesar Rp 721,3 triliun yang terdiri dari penanaman modal dalam negeri Rp 328,6 triliun dan penanaman modal asing Rp 392,7 triliun. Penanaman modal asing tumbuh negatif 8,8 persen.
Kemudahan usaha
Keterbukaan ekonomi, lanjut Febrio, mesti dibarengi perbaikan sejumlah indikator kemudahan berusaha. Reformasi kebijakan yang dilakukan pemerintah sudah tepat, tetapi efektivitas pelaksanaannya belum terlihat.
Agenda reformasi mesti bertahap, tidak secara tiba-tiba. Implementasi sistem perizinan terintegrasi berbasis daring (online single submission/OSS), misalnya, seyogianya diterapkan di beberapa daerah dulu. Setelah sistem optimal baru implementasi secara nasional.
Dalam Laporan Bank Dunia tentang Kemudahan Berbisnis 2019, skor Indonesia naik dari 66,54 pada 2018 menjadi 67,96. Namun, peringkat Indonesia turun dari ke-72 pada tahun lalu menjadi ke-73 pada tahun ini.
”Peringkat Indonesia sangat mungkin naik ke kisaran 40. Namun, ini membutuhkan pola pikir yang lebih ramah investasi dan transparan,” kata Febrio.
Dalam kesempatan yang sama, Head of Asia Desk Development Centre OECD Kensuke Tanaka menambahkan, keterbukaan ekonomi memang dibutuhkan saat ini. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara tengah berlomba-lomba menarik investasi asing akibat ketidakpastian negosiasi perang dagang AS-China.
”Posisi kebijakan pemerintah sangat menentukan untuk menarik investasi asing langsung tersebut. Hampir semua negara melakukan perbaikan dan reformasi,” kata Tanaka.
Menurut Tanaka, salah satu persoalan utama dalam kemudahan berusaha adalah gaji pegawai dan infrastruktur. Kedua aspek itu menjadi pertimbangan pengusaha untuk berinvestasi jangka panjang di suatu negara. Pemerintah mesti memberikan kepastian hukum atas kedua hal tersebut.
Sebelumnya, Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde memperingatkan bahwa perekonomian global tengah menghadapi ”momen yang sulit” atau delicate moment. Pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 diperkirakan terlemah sejak tahun 2009.
Tensi perdagangan global masih akan dipengaruhi ketidakpastian negosiasi perang dagang AS-China dan kesepakatan Brexit. Perdagangan global juga mendapat sentimen negatif dari persoalan geopolitik di sejumlah negara, terutama menyangkut harga minyak dunia.