Menakar Daya Tahan Industri Kulit Tanah Air
Indonesia memiliki potensi besar dalam industri kulit, yang dapat menopang perekonomian negara sekaligus berkiprah di kancah global.
Hingga 2017, Badan Pusat Statistik mencatat ada sekitar 76.000 unit usaha skala mikro kecil di sektor kulit, barang dari kulit dan alas kaki. Ada lebih dari 250.000 tenaga kerja yang terserap di dalamnya.
Dibandingkan dengan total keseluruhan usaha skala mikro-kecil, industri ini masih terbilang kecil. Proporsi unit usaha industri kulit hanya 1,7 persen dari seluruh usaha-mikro kecil yang ada dan hanya menyerap 2,3 persen tenaga kerja dari keseluruhan industri di skala usaha yang sama. Kendati kecil, prospek bisnis di sektor ini terbilang moncer.
Simak saja publikasi dari laman World’s Top Exports yang merujuk pada data United Nations Comtrade Database. Khusus untuk produk sepatu kulit saja, Indonesia berhasil menembus peringkat kelima pasar global dengan nilai ekspor 2,6 juta dollar AS tahun 2017, setara 4,9 persen pasar sepatu kulit dunia.
Indonesia juga mencatat surplus perdagangan keempat terbesar dunia khusus untuk komoditas ini, dengan besaran surplus mencapai 12,7 persen. Sepanjang 2013-2017, pertumbuhan rata-rata ekspor Indonesia berada di urutan keempat dunia sesudah Kamboja, Vietnam dan Jerman. 12,3 persen sepanjang 2013-2017.
Industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki juga berperan menopang perekonomian nasional yang melambat. Produk domestik bruto sub sektor kulit, barang dari kulit dan alas kaki tumbuh 2,2 persen, di tengah pertumbuhan sektor pertambangan yang tercatat minus di tahun yang sama.
Indonesia berhasil menembus peringkat kelima pasar global dengan nilai ekspor 2,6 juta dollar AS tahun 2017, setara 4,9 persen pasar sepatu kulit dunia
Publikasi Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2017 mendeskripsikan, industri kulit menjadi salah satu sub sektor perekonomian yang mencatat pertumbuhan nilai investasi asing tertinggi di tahun 2017.
Untuk capaian ini saja, baru sebagian kecil pebisnis kulit yang terlibat dalam kegiatan ekspor. Publikasi BPS tahun 2017 menunjukkan hanya 10,72 persen dari total produk usaha skala menengah besar dan 0,4 persen dari total produk usaha mikro kecil industri kulit yang dijual ke luar negeri.
Mayoritas kegiatan bisnis kulit (lebih kurang 96 persen) juga masih terpusat di Pulau Jawa, antara lain di Kabupaten Garut di Jawa Barat, Yogyakarta, serta Kabupaten Sidoarjo dan Magetan di Jawa Timur.
Produksi
Secara keseluruhan, produk industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki berbahan kulit juga mencatat peningkatan tren ekspor. Dalam lima tahun belakangan, ekspor industri ini tumbuh rata-rata hampir 7 persen per tahun.
Performa mengesankan ekspor kulit nasional, dibayangi oleh ketidakpastian pertumbuhan produksi dari industri penyamakan kulit. Pada skala menengah-besar, usaha penyamakan kulit mencatat pertumbuhan fluktuatif dari hampir enam persen di tahun 2014, kemudian hanya sekitar 4 persen tahun 2015, selanjutnya naik lagi di kisaran 7,6 persen dan dalam dua tahun terakhir masih melanjutkan pola yang sama.
Baca juga : Lesu di Pasar Lokal, Lemah di Pasar Global
Sementara, industri kulit berskala mikro-kecil menunjukkan kecenderungan semakin lambat dalam beberapa tahun belakangan. Produksi pengusaha kulit di level mikro-kecil sepanjang 2016 masih tumbuh sekira 5 persen, kemudian turun mendekati 3,5 persen tahun 2017 dan tahun lalu kembali menyusut di bawah 3 persen.
Apa yang kiranya terjadi di balik ketidakpastian pertumbuhan produksi usaha penyamakan kulit nasional? Banyak faktor bisa dikemukakan sebagai argumen.
Keluhan pelaku usaha mengenai ancaman pesaing seiring keterbukaan global, seperti ditunjukkan dari data hasil survey Badan Pusat Statistik, juga bisa menjadi penyebabnya. Namun, kiranya layak juga melihat penyebab lain yang tidak kalah penting dicermati yakni menyangkut sisi hulu produksi
Akses
Dalam konteks bisnis, ketersediaan akses atas faktor produksi menjadi sebuah keniscayaan. Sayang, tidak sedikit pengusaha kulit yang masih berhadapan dengan persoalan modal usaha. Kendala ini terutama paling banyak dialami oleh usaha skala mikro dan kecil, khususnya usaha mikro-kecil yang tidak kompetitif berhadapan dengan produk luar mengingat skala efisiensinya rendah.
Tidak sedikit pengusaha kulit yang masih berhadapan dengan persoalan modal usaha
Ironisnya, data BPS juga menggambarkan rendahnya animo pengusaha kulit mikro dan kecil yang efisiensinya tinggi untuk mengembangkan atau memperluas usahanya. Alasan utama dari kebanyakan usaha skala ini adalah kekurangan modal.
Baca juga : Meningkatkan Investasi-Sinergi, Mengatasi Dilema Penyamak
Kendala modal yang mengemuka tidak bisa dilihat sebagai satu-satunya faktor penyebab. Kebutuhan modal yang kuat menjadi tuntutan yang harus dipenuhi pengusaha lantaran persoalan akses faktor produksi lain di baliknya, yakni biaya bahan baku yang tidak murah.
Kapasitas produksi industri penyamakan kulit di Indonesia, mengacu pada data Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia, sekitar 110 juta meter persegi atau 70.000 ton per tahun. Kemampuan utilisasi pabrik penyamakan nasional masih terbilang rendah, hanya sekitar separuh dari kapasitas optimal.
Industri penyamakan kulit terpusat di Yogyakarta, Magetan, Garut, dan beberapa pabrikan berada di Jakarta dan Padang Panjang. Menariknya, Produk bermerek global seperti Hush Puppies dan Crocodile ternyata juga menggunakan kulit mentah yang dipasok dari Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Dengan kata lain, kulit lokal sebenarnya mempunyai mutu yang tak kalah dari produk luar, hanya saja kuantitasnya terbatas. Kepastian pasokan bahan baku, setidaknya menjadi salah satu kunci bagi kelenturan bisnis penyamakan kulit, yang pada gilirannya akan memberi andil menarik kembali peningkatan kinerjanya yang kini cenderung mengerut.
(LITBANG KOMPAS)