JAKARTA, KOMPAS — Dua perusahaan terkait 81 kontainer dan 1.100 meter kubik kayu ilegal asal Papua, yaitu CV ATI dan CV STI, akan segera disidangkan. Kepastian ini didapatkan setelah Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerima dua surat dari Kejaksaan Agung tertanggal 4 April 2019 yang menyatakan dua berkas perkara itu tersebut telah lengkap atau P21.
Tahapan ini dilanjutkan dengan penyerahan tersangka dan barang bukti pada tanggal 8 April 2019 di Sorong, Papua Barat. CV ATI dan CV STI – dua perusahaan tersebut– adalah pemain besar kayu ilegal di Papua Barat. Tersangka dari kasus ini adalah HBS alias MH.
Kasus kayu ilegal ini mendapatkan perhatian publik secara luas. Pada saat ini KLHK sedang menangani kasus kayu ilegal asal Papua, Papua Barat, Maluku, dan Sulawesi Tengah sebanyak 424 kontainer yang disita di Surabaya dan Makassar.
Yazid Nurhuda, Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK, Kamis (11/4/2019), di Jakarta, mengatakan, kasus-kasus ini akan segera diselesaikan secara tuntas. Dalam siaran pers Ditjen Penegakan Hukum KLHK, disebutkan, penyidik KLHK masih memeriksa tersangka lain, yaitu DG (Direktur PT MGM) dan DT (Direktur PT EAJ) yang ditahan di Jakarta, TS (Direktur PT RPF) yang ditahan di Makassar, serta J (Direktur CV BK) yang ditahan di Surabaya. Sementara itu satu orang, ET (Direktur CV AKG), ditetapkan dalam daftar pencarian orang per 4 Maret 2019.
Kejahatan luar biasa
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, mengatakan, penyelamatan sumber daya alam melalui pemberantasan pembalakan liar merupakan komitmen pemerintah. "Kejahatan ini harus kita lawan karena menghancurkan ekosistem, mengancam kehidupan masyarakat, dan merugikan negara," kata dia.
Ia pun menyebut perusakan lingkungan sebagai kejahatan luar biasa yang membutuhkan penanganan bersama-sama. Untuk menimbulkan efek jera, ia mengharapkan penegakan hukum pidana pencucian uang dapat segera diterapkan untuk kasus sumberdaya alam.
Yazid Nurhuda mengatakan bahwa tersangka dijerat dengan Pasal 87 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 95 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 86 ayat 1 huruf a UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 miliar. Efek jera bisa diharapkan muncul ketika terdakwa dikenakan hukuman pidana penjara dan ganti rugi.