Memasuki hari keempat, Kamis (11/4/2019), banjir di sejumlah kecamatan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, telah surut. Namun, warga masih mengungsi karena rumah mereka belum dapat ditempati.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS — Memasuki hari keempat, Kamis (11/4/2019), banjir di sejumlah kecamatan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, telah surut. Namun, warga masih mengungsi karena rumah mereka belum dapat ditempati.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Indramayu Edi Kusdiana mengatakan, banjir setinggi 20-100 sentimeter masih merendam Desa Babadan, Kecamatan Sindang dan Desa Pagirikan, Kecamatan Pasekan. Posko banjir juga berpindah dari kantor Kecamatan Sindang ke Babadan. Sementara daerah lainnya yang sempat terendam banjir kini telah surut.
Sebelumnya, banjir merendam 8.271 rumah dengan ketinggian air 20-100 sentimeter. Secara keseluruhan, banjir melanda 19 desa di Kecamatan Indramayu, Sindang, Pasekan, Lohbener, dan Cantigi. Saat banjir pertama kali memasuki rumah warga, Senin (8/4/2019) sore, banjir menggenangi enam desa di Indramayu.
Sebanyak 24.813 jiwa serta sejumlah perkantoran dan sekolah terdampak. Kerugian akibat banjir diperkirakan mencapai Rp 4,1 miliar. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) masih mendata jumlah pengungsi yang tersebar di rumah kerabat, masjid, balai desa, hingga tenda darurat di pinggir jalan.
”Malam ini, pengungsi yang terdata sebanyak 36 jiwa di Desa Babadan. Warga mengungsi karena rumah mereka masih terendam. Kalaupun surut, masih dibutuhkan pembersihan pascabanjir. Jadi, bantuan makanan dan minuman masih dikirim,” ujarnya.
Banjir berasal dari luapan Sungai Cimanuk. Sungai sepanjang 180 kilometer itu berhulu di Kabupaten Garut, melintasi Sumedang, Majalengka, dan berhilir di Indramayu. Ketika hujan deras di hulu, Indramayu berpotensi terendam banjir.
Desa Babadan dan Pagirikan berada di dekat Sungai Cimanuk lama yang bermuara di Laut Karangsong. Sungai itu tak lagi berfungsi. Sampah dan eceng gondok menutupi hampir seluruh aliran sungai, bercampur aneka sampah rumah tangga.
Aliran sungai bahkan terhambat jalan dan usaha pembuatan perahu warga. Jalan aspal itu masih digunakan warga meskipun Pemkab Indramayu telah mengoperasikan jembatan sepanjang 300 meter tahun lalu.
Sungai Cimanuk lama menjadi saluran pembuangan selain Sungai Cimanuk baru yang bermuara di Cantigi. Akibatnya, banjir tak kunjung surut. Pada Rabu sore, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung bersama Pemkab Indramayu sepakat membongkar jalan yang menghadang aliran Sungai Cimanuk lama.
Karnadi (52), warga Babadan, mendesak pemerintah daerah dan BBWS Cimanuk-Cisanggarung untuk menanggulangi banjir luapan Sungai Cimanuk dengan tuntas. ”Selama saya hidup di sini, banjir kali ini yang terparah. Kami sampai mengungsi,” ucapnya.
Kepala BBWS Cimanuk-Cisanggarung Happy Mulya mengatakan, salah satu kendala penanganan banjir adalah minimnya anggaran. ”Tahun ini, anggarannya Rp 50 miliar. Tahun lalu mencapai Rp 150 miliar. Idealnya, ya, sebanyak-banyaknya,” ujarnya.
Apalagi, banjir itu juga dipengaruhi kerusakan daerah aliran S Cimanuk. ”Di hulunya, lahan kritis mencapai 31 persen atau sekitar 110.000 hektar. Hutan beralih fungsi menjadi tanaman sayuran,” ujarnya.
Kondisi tersebut tampak ketika banjir bandang melanda Garut, September 2016. Sebanyak 34 orang tewas dan 19 lainnya hilang terseret aliran Sungai Cimanuk (Kompas, 27/9/2016).
Sungai mengalami pendangkalan karena material padat yang terendap. Banjir bandang Garut saja, lanjutnya, menggelontorkan sedimen tanah hingga 5 juta meter kubik di Sungai Cimanuk. Adapun laju erosi mencapai 4,7 milimeter per tahun.
”Ini sangat berat. Normalnya hanya 2 milimeter per tahun,” katanya. Sementara di hilir, bantaran Sungai Cimanuk diokupasi bangunan liar. Bahkan, tanggulnya menjadi bahan pembuatan batu bata.