Agar Optimal, Perencanaan Matang Mutlak Diperlukan
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persiapan memasuki Revolusi Industri 4.0 dinilai tidak menyertakan perencanaan ekonomi yang matang. Sejumlah kalangan menyatakan, Revolusi Industri 4.0 hanya sekadar gimik politik.
”Revolusi Industri 4.0 tidak lebih dari sekadar euforia dan gimik politik. Sebab, tidak ada perencanaan mendasar mengenai apa yang perlu dikembangkan di sektor prioritas,” ujar ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Nawir Messi, di Jakarta, Kamis (11/4/2019).
Diskusi ini mengemuka dalam konferensi pers yang diselenggarakan Indef dengan tema ”Tantangan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial”. Dalam kesempatan ini, Indef menyampaikan 10 permasalahan krusial di bidang ekonomi, salah satunya adalah Revolusi Industri 4.0.
Acara ini juga sekaligus sebagai pemanasan untuk debat pemilihan presiden babak terakhir yang akan membahas ”Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Keuangan, Investasi, serta Perdagangan dan Industri”.
Lebih lanjut, Nawir mengatakan, pemerintah semestinya memetakan terlebih dahulu sektor manufaktur yang berpotensi untuk dijadikan Industri 4.0. Dengan demikian, proses dari hulu hingga ke hilir dapat lebih matang disiapkan.
Senada dengan itu, peneliti Indef, Andry Satrio Nugroho, juga menyoroti hal serupa. Ia menyampaikan, pengembangan Industri 4.0 juga tidak menyertakan perencanaan infrastruktur dasar industri 4.0, yaitu internet of things (IoT).
Pemerintah semestinya memetakan terlebih dahulu sektor manufaktur yang berpotensi untuk dijadikan Industri 4.0. Dengan demikian, proses dari hulu hingga ke hilir dapat lebih matang disiapkan.
”Meski telah ada pembangunan di daerah, Jawa masih menjadi pusat pengembangan. Jika demikian, bagaimana kita dapat mengimplementasikan Industri 4.0,” kata Andry.
Terlebih lagi, perencanaan untuk memitigasi tenaga kerja yang terkena dampak dari pengimplementasian otomatisasi di sektor ini juga tidak ada. Padahal, dengan adanya otomatisasi, pengurangan jumlah tenaga kerja adalah keniscayaan.
Fokus pelatihan
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menyampaikan, dalam memasuki Industri 4.0, peningkatan kualitas SDM mutlak dilakukan. Terkait hal ini, penting bagi pemerintah untuk mengubah paradigma.
Eko menilai, selama ini pemerintah masih bertumpu pada nilai anggaran, bukan bagaimana mengoptimalkan penggunaannya. Akibatnya, banyak lulusan dari sekolah menengah atas ataupun kejuruan yang sulit terserap dunia kerja.
”Bukan industri tidak butuh tenaga kerja, melainkan kemampuan yang diperoleh di dunia pendidikan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan industri,” ujar Eko.
Berdasarkan data Indef pada Agustus 2018, sebagian besar pengangguran merupakan lulusan sekolah menengah atas (7,95 persen) dan sekolah menengah kejuruan (11,24 persen). Di samping itu, pengangguran dari lulusan universitas juga cukup besar (5,89 persen).
”Semestinya ada insentif untuk mendorong swasta dalam melatih sumber daya manusia, khususnya siswa di sekolah menengah kejuruan (SMK). Tujuannya, agar lulusan SMK memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri,” tutur Eko.
Melalui koordinasi antara industri dan sekolah, siswa akan mendapat pelatihan langsung yang sesuai dengan kebutuhan industri. Dengan begitu, lulusan sekolah menengah atas ataupun kejuruan dapat terserap langsung.