JAKARTA, KOMPAS — GE Company menawarkan teknologi untuk proyek pengeboran lapangan minyak dan gas bumi di bawah laut. Teknologi yang dinamai Subsea Connect dan Aptara itu disebut memiliki tingkat efisiensi tinggi sehingga biaya pengeboran di bawah laut setara dengan biaya pengeboran di darat.
Namun, penggunaan teknologi canggih belum cukup tanpa didukung efisiensi birokrasi.
Dalam paparannya di Jakarta, Selasa (9/4/2019), Direktur Penjualan untuk kawasan Asia Pasifik pada Baker Hughes a GE Company (BHGE) Derek Price mengatakan, teknologi Subsea Connect dan Aptara merupakan teknologi baru dengan sistem modular yang ringan dan dapat digunakan sepanjang aktivitas pengeboran. Alat ini dikombinasikan dengan sistem perencanaan dan manajemen risiko yang dapat menghemat biaya pengoperasian pengeboran di dasar laut.
”Teknologi ini dapat meningkatkan nilai ekonomi dari proyek-proyek pengeboran migas di lepas pantai lewat efisiensi dan ketepatan waktu pelaksanaan proyek. Dibandingkan dengan teknologi yang ada, Subsea Connect dan Aptara bisa menghemat biaya sampai dengan 30 persen,” ujar Derek.
Derek menambahkan, proyek-proyek migas yang diselenggarakan secara global umumnya berlangsung tidak tepat jadwal. Proyek yang bisa berjalan sesuai jadwal masih sangat minim, yakni kurang dari 25 persen.
Selain itu, umumnya ada pembengkakan biaya proyek hingga 35 persen dari perencanaan anggaran semula.
Kevin Jayanathan, Direktur Penjualan untuk kawasan Asia Tenggara pada BHGE, menambahkan, teknologi Subsea Connect dan Aptara dapat meningkatkan peluang proyek-proyek migas yang sebelumnya dinyatakan tidak ekonomis menjadi ekonomis. Ia menambahkan, teknologi itu membuka potensi peningkatan jumlah ketersediaan cadangan minyak global sebanyak 16 miliar barel. Teknologi ini akan cocok dipakai di lapangan migas yang sebelumnya dinyatakan kurang ekonomis untuk dikembangkan.
”Dengan efisiensi yang tinggi, cadangan minyak global sebanyak 16 miliar barel, yang sebelumnya dinyatakan tidak ekonomis dikembangkan, bisa berpeluang lebar untuk diproduksi secara ekonomis,” kata Kevin.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyampaikan, pemanfaatan teknologi canggih untuk pengeboran lapangan minyak di Indonesia belum cukup. Ada hal lain penting yang bersifat nonteknis, seperti kemudahan perizinan, penyederhanaan birokrasi, termasuk kepastian hukum yang menaungi investasi hulu migas di dalam negeri.
”Teknologi memang penting karena dibutuhkan untuk menguras minyak dan gas yang ada di perut bumi. Kita juga mengenal metode pengurasan tingkat lanjut (enhanced oil recovery/EOR). Namun, lebih dari itu, investasi hulu migas di Indonesia juga memerlukan kemudahan perizinan, kepastian hukum, dan penyederhanaan birokrasi,” ujar Komaidi.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi masalah penurunan produksi minyak. Sempat memproduksi 1,5 juta barel minyak per hari pada 1980-an, kini produksi minyak Indonesia sekitar 780.000 barel per hari.
Pada 2009, pemerintah meluncurkan data cekungan hidrokarbon yang berjumlah 128 buah di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, 18 cekungan sudah memproduksi minyak dan gas bumi. Beberapa cekungan lain sedang diteliti lebih lanjut untuk mengetahui potensinya, sedangkan 74 cekungan lainnya sama sekali belum diteliti. Biaya menjadi kendala bagi pemerintah untuk menggiatkan survei potensi migas di laut lepas. (APO)